Selasa, 24 Januari 2012

Perempuan Mudah Masuk Syurga Tapi Ramai Di Neraka


Alhamdulillaah…..
Segala Puji bagi Allah Tuhan Seru sekalian alam.Tuhan Yang Maha Rahman.Maha Rahim.. Shalawat serta salam senantiasa tercurah untuk kekasih Allah,Muhammad Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam.Allahumma Shalli wa Salim Ala Sayyidina Muhammadin wa Ala aali Sayyidina Muhammadin fi Kulli Lam Hatin wa na Fasinn bi'adadi Kulli Ma'lu Mil Lak.

`*•Yaa Rabbi•*´¯)Ajarilah kami bagaimana memberi sebelum meminta,berfikir sebelum bertindak,santun dalam berbicara,tenang ketika gundah,diam ketika emosi melanda,bersabar dalam setiap ujian.Jadikanlah kami orang yg selembut Abu Bakar Ash-Shiddiq,sebijaksana Umar bin Khattab,sedermawan Utsman bin Affan,sepintar Ali bin Abi Thalib,sesederhana Bilal,setegar Khalid bin Walid radliallahu'anhumღAmiin ya Rabbal'alamin.

Bagi isteri hanya 4 syarat untuk mereka ke syurga “Apabila seorang isteri mengerjakan solat 5 waktu, mengerjakan puasa sebulan, memelihara kehormatannya (aurat) serta mentaati suaminya, nescaya dia akan masuk syurga”. (Riwayat Imam Bazzar melalui Anas r.a)

Daripada Anas,Nabi Sallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang bermaksud: “Apabila seorang perempuan mendirikan sembahyang lima waktu, berpuasa sebulan (Ramadhan), menjaga kehormatan dan taat kepada suami, dia akan disuruh memasuki syurga melalui mana-mana pintu yang dia sukai.” (Hadis Riwayat Ahmad)

Perempuan tidak perlu keluar berjihad atau berperang, cukup sekadar mengerjakan haji atau umrah bagi yang cukup syaratnya.

Daripada Aishah r.a. katanya, aku berkata, “Ya Rasulullah, kita mengetahui bahawa jihad adalah sebaik-baik amalan. Oleh itu apakah kami kaum wanita tidak boleh ikut berjihad?” Baginda terus menjawab: “Bagi kamu semua (kaum wanita) jihad yang paling baik ialah mengerjakan haji dan mendapatkan haji mabrur."
Rasulullah SAW bersabda: ” Jihad orang yang tua, lemah dan wanita ialah menunaikan haji” (an-Nasa’i)”

Pernah Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam bersabda yang bermaksud : “Jikalau sekiranya ada perintah dari Allah SWT untuk menyuruh manusia sujud kepada manusia nescaya aku suruh isteri sujud kepada suaminya.”

Namun perempuan lebih ramai di neraka

Dari Abdullah bin Umar r.a katanya:Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam telah bersabda: “Wahai kaum wanita! Bersedekahlah kamu dan perbanyakkanlah istighfar iaitu memohon ampun. Kerana aku melihat kaum wanitalah yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka.”

Seorang wanita yang cukup pintar di antara mereka bertanya: “Wahai Rasulullah,kenapa kami kaum wanita yang lebih ramai menjadi penghuni Neraka?”Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam bersabda:“Kamu banyak mengutuk dan mengingkari suami.

Aku tidak melihat mereka yang kekurangan akal dan agama yang lebih menguasai pemilik akal, daripada golongan kamu.

Wanita itu bertanya lagi: “Wahai Rasulullah! Apakah maksud kekurangan akal dan agama itu? “Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam bersabda: “Maksud kekurangan akal ialah penyaksian dua orang wanita sama dengan penyaksian seorang lelaki.

Inilah yang dikatakan kekurangan akal.Begitu juga wanita tidak mendirikan sembahyang pada malam-malam yang dilaluinya kemudian berbuka pada bulan Ramadhan kerana haid. Maka inilah yang dikatakan kekurangan agama”

Dari Imran bin Husain dia berkata,Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam bersabda yang bermaksud : “Sesungguhnya penduduk Syurga yang paling sedikit adalah wanita.” (Hadis Riwayat Muslim dan Ahmad)

Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam bersabda yang bermaksud : “Aku melihat ke dalam Syurga maka aku melihat kebanyakan penghuninya adalah fuqara’ (orang-orang fakir) dan aku melihat ke dalam Neraka maka aku menyaksikan kebanyakan penghuninya adalah wanita.” (Hadis Riwayat Al- Bukhari dan Muslim)

Sabda Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam :“Allah tidak akan melihat kepada wanita yang tidak mensyukuri apa yang ada pada suaminya dan tidak merasa cukup dengannya.” (HR Nasa’i)

Sabda Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam :“Wanita yang meminta cerai pada suaminya tanpa sebab (yang syar’ie) maka haram baginya mencium wangi Syurga.” (Hadis Riwayat Abu Daud dan At-Tirmizi )

Dalam hadis yang lain,Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam menjelaskan tentang wanita penghuni Neraka,baginda bersabda :“ … dan wanita-wanita yang berpakaian tetapi hakikatnya mereka telanjang, melenggak-lenggokkan kepala mereka kerana sombong dan berpaling dari ketaatan kepada Allah dan suaminya, kepala mereka seakan-akan seperti bunggul unta.

Mereka tidak masuk Syurga dan tidak mendapatkan wanginya Syurga padahal wanginya boleh didapati dari jarak perjalanan sekian dan sekian.” (Hadis Riwayat Muslim dan Ahmad)

Di dalam kisah solat gerhana matahari,Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam. dan para sahabatnya melakukan solat gerhana padanya dengan solat yang panjang,

Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam melihat Syurga dan Neraka. Ketika beginda melihat Neraka beginda bersabda kepada para sahabatnya: “ … dan aku melihat Neraka maka tidak pernah aku melihat pemandangan seperti ini sama sekali, aku melihat kebanyakan penghuninya adalah kaum wanita.

Para sahabat pun bertanya:“Mengapa (demikian) wahai Rasulullah?” Baginda Rasulullah Shallahu 'alaihi wassalam menjawab : “Kerana kekufuran mereka.” Kemudian ditanya lagi : “Apakah mereka kufur kepada Allah?” Baginda menjawab : “Mereka kufur terhadap suami-suami mereka, kufur terhadap kebaikan-kebaikannya.

Kalaulah engkau berbuat baik kepada salah seorang di antara mereka selama waktu yang panjang kemudian dia melihat sesuatu pada dirimu (yang tidak dia sukai) nescaya dia akan berkata : ‘Aku tidak pernah melihat sedikitpun kebaikan pada dirimu.’ ” (Hadis Riwayat Imam Al-Bukhari)

Ketika beginda selesai berkhutbah hari raya yang berisikan perintah untuk bertakwa kepada Allah SWT. dan anjuran untuk mentaati-Nya.

Baginda pun bangkit mendatangi kaum wanita, baginda menasihati mereka dan mengingatkan mereka tentang akhirat kemudian baginda bersabda : “Bersedekahlah kamu semua.

Kerana kebanyakan kamu adalah kayu api Neraka Jahanam!” Maka berdirilah seorang wanita yang duduk di antara wanita-wanita lainnya yang berubah kehitaman kedua pipinya, dia pun bertanya : “Mengapa demikian, wahai Rasulullah?” Baginda menjawab : “Kerana kamu banyak mengeluh dan kamu tidak taat terhadap suami.” (Hadis Riwayat Al- Bukhari)

♥ SEMOGA BERMANFAAT ♥

Barakallaahu fiykum wa jazzakumullah khoir

www.myland59.blogspot.com

HAK DAN KEWAJIBAN SUAMI ISTRI MENURUT SYARI'AT ISLAM YANG MULIA


Hak Dan Kewajiban Suami Isteri Menurut Syari’at Islam Yang Mulia

Oleh
Al-Ustadz Yazid bin Abdul Qadir Jawas


Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam senantiasa menganjurkan kaum muda untuk menyegerakan me-nikah sehingga mereka tidak berkubang dalam kemak-siatan, menuruti hawa nafsu dan syahwatnya. Karena, banyak sekali keburukan akibat menunda pernikahan. Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

“Wahai para pemuda! Barangsiapa di antara kalian berkemampuan untuk menikah, maka menikahlah! Karena menikah itu lebih menundukkan pandangan, dan lebih membentengi farji (kemaluan). Dan barangsiapa yang tidak mampu, maka hendaklah ia shaum (puasa) karena shaum itu dapat memben-tengi dirinya.”[1]

Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam untuk segera menikah mengandung berbagai manfaat, sebagaimana yang dijelaskan oleh para ulama, di antaranya:

[1]. Melaksanakan Perintah Allah Ta’ala.
[2]. Melaksanakan Dan Menghidupkan Sunnah Nabi Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam.
[3]. Dapat Menundukkan Pandangan.
[4]. Menjaga Kehormatan Laki-Laki Dan Perempuan.
[5]. Terpelihara Kemaluan Dari Beragam Maksiat.

Dengan menikah, seseorang akan terpelihara dari perbuatan jelek dan hina, seperti zina, kumpul kebo, dan lainnya. Dengan terpelihara diri dari berbagai macam perbuatan keji, maka hal ini adalah salah satu sebab dijaminnya ia untuk masuk ke dalam Surga.

Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Barangsiapa yang menjaga apa yang ada di antara dua bibir (lisan)nya dan di antara dua paha (ke-maluan)nya, aku akan jamin ia masuk ke dalam Surga.” [2]

[6]. Ia Juga Akan Termasuk Di Antara Orang-Orang Yang Ditolong Oleh Allah.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda tentang tiga golongan yang ditolong oleh Allah, yaitu orang yang menikah untuk memelihara dirinya dan pandangannya, orang yang berjihad di jalan Allah, dan seorang budak yang ingin melunasi hutangnya (menebus dirinya) agar merdeka (tidak menjadi budak lagi). Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

"Artinya : Ada tiga golongan manusia yang berhak mendapat pertolongan Allah: (1) mujahid fi sabilillah, (2) budak yang menebus dirinya agar merdeka, dan (3) orang yang menikah karena ingin memelihara kehor-matannya.” [3]

[7]. Dengan Menikah, Seseorang Akan Menuai Ganjaran Yang Banyak.
Bahkan, Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam menyebutkan bahwa seseorang yang bersetubuh dengan isterinya akan mendapatkan ganjaran. Beliau bersabda,

“Artinya : ... dan pada persetubuhan salah seorang dari kalian adalah shadaqah...” [4]

[8]. Mendatangkan Ketenangan Dalam Hidupnya
Yaitu dengan terwujudnya keluarga yang sakinah, mawaddah wa rahmah. Sebagaimana firman Allah ‘Azza wa Jalla:

"Artinya : Dan di antara tanda-tanda (kebesaran)-Nya ialah Dia menciptakan pasangan-pasangan untukmu dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan Dia menjadikan di antaramu rasa kasih dan sayang. Sungguh, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kebesaran Allah) bagi kaum yang berfikir.” [Ar-Ruum : 21]

Seseorang yang berlimpah harta belum tentu merasa tenang dan bahagia dalam kehidupannya, terlebih jika ia belum menikah atau justru melakukan pergaulan di luar pernikahan yang sah. Kehidupannya akan dihantui oleh kegelisahan. Dia juga tidak akan mengalami mawaddah dan cinta yang sebenarnya, sebagaimana yang diisyaratkan oleh Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Artinya : Tidak pernah terlihat dua orang yang saling mencintai seperti (yang terlihat dalam) pernikahan.” [5]

Cinta yang dibungkus dengan pacaran, pada hakikatnya hanyalah nafsu syahwat belaka, bukan kasih sayang yang sesungguhnya, bukan rasa cinta yang sebenarnya, dan dia tidak akan mengalami ketenangan karena dia berada dalam perbuatan dosa dan laknat Allah. Terlebih lagi jika mereka hidup berduaan tanpa ikatan pernikahan yang sah. Mereka akan terjerumus dalam lembah perzinaan yang menghinakan mereka di dunia dan akhirat.

Berduaan antara dua insan yang berlainan jenis merupakan perbuatan yang terlarang dan hukumnya haram dalam Islam, kecuali antara suami dengan isteri atau dengan mahramnya. Sebagaimana sabda Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam:

"Artinya : angan sekali-kali seorang laki-laki bersendirian dengan seorang wanita, kecuali si wanita itu bersama mahramnya.” [6]

Mahram bagi laki-laki di antaranya adalah bapaknya, pamannya, kakaknya, dan seterusnya. Berduaan dengan didampingi mahramnya pun harus ditilik dari kepen-tingan yang ada. Jika tujuannya adalah untuk ber-pacaran, maka hukumnya tetap terlarang dan haram karena pacaran hanya akan mendatangkan kegelisahan dan menjerumuskan dirinya pada perbuatan-perbuatan terlaknat. Dalam agama Islam yang sudah sempurna ini, tidak ada istilah pacaran meski dengan dalih untuk dapat saling mengenal dan memahami di antara kedua calon suami isteri.

Sedangkan berduaan dengan didampingi mahramnya dengan tujuan meminang (khitbah), untuk kemudian dia menikah, maka hal ini diperbolehkan dalam syari’at Islam, dengan ketentuan-ketentuan yang telah dijelaskan pula oleh syari’at.

[9]. Memiliki Keturunan Yang Shalih
Setiap orang yang menikah pasti ingin memiliki anak. Dengan menikah –dengan izin Allah— ia akan mendapatkan keturunan yang shalih, sehingga menjadi aset yang sangat berharga karena anak yang shalih akan senantiasa mendo’akan kedua orang tuanya, serta dapat menjadikan amal bani Adam terus mengalir meskipun jasadnya sudah berkalang tanah di dalam kubur.
Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda.

"Artinya : Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga hal: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendo’akannya.” [7]

[10]. Menikah Dapat Menjadi Sebab Semakin Banyaknya Jumlah Ummat Nabi Muhammad Shallallaahu ‘Alaihi Wa Sallam
Termasuk anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam adalah menikahi wanita-wanita yang subur, supaya ia memiliki keturunan yang banyak.

Seorang yang beriman tidak akan merasa takut dengan sempitnya rizki dari Allah sehingga ia tidak membatasi jumlah kelahiran. Di dalam Islam, pembatasan jumlah kelahiran atau dengan istilah lain yang menarik (seperti “Keluarga Berencana”) hukumnya haram dalam Islam. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam justru pernah mendo’akan seorang Shahabat beliau, yaitu Anas bin Malik radhiyallaahu ‘anhu, yang telah membantu Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam selama sepuluh tahun dengan do’a:

“Ya Allah, perbanyaklah harta dan anaknya dan berkahilah baginya dari apa-apa yang Engkau anugerahkan padanya.” [8]

Dengan kehendak Allah, dia menjadi orang yang paling banyak anaknya dan paling banyak hartanya pada waktu itu di Madinah. Kata Anas, “Anakku, Umainah, menceritakan kepadaku bahwa anak-anakku yang sudah meninggal dunia ada 120 orang pada waktu Hajjaj bin Yusuf memasuki kota Bashrah.” [9]

Semestinya seorang muslim tidak merasa khawatir dan takut dengan banyaknya anak, justru dia merasa bersyukur karena telah mengikuti Sunnah Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam yang mulia. Allah ‘Azza wa Jalla akan memudahkan baginya dalam mendidik anak-anaknya, sekiranya ia bersungguh-sungguh untuk taat kepada Allah dan Rasul-Nya. Bagi Allah ‘Azza wa Jalla tidak ada yang mustahil.

Di antara manfaat dengan banyaknya anak dan keturunan adalah:
1. Mendapatkan karunia yang sangat besar yang lebih tinggi nilainya dari harta.
2. Menjadi buah hati yang menyejukkan pandangan.
3. Sarana untuk mendapatkan ganjaran dan pahala dari sisi Allah.
4. Di dunia mereka akan saling menolong dalam ke-bajikan.
5. Mereka akan membantu meringankan beban orang tuanya.
6. Do’a mereka akan menjadi amal yang bermanfaat ketika orang tuanya sudah tidak bisa lagi beramal (telah meninggal dunia).
7. Jika ditakdirkan anaknya meninggal ketika masih kecil/belum baligh -insya Allah- ia akan menjadi syafa’at (penghalang masuknya seseorang ke dalam Neraka) bagi orang tuanya di akhirat kelak.
8. Anak akan menjadi hijab (pembatas) dirinya dengan api Neraka, manakala orang tuanya mampu men-jadikan anak-anaknya sebagai anak yang shalih atau shalihah.
9. Dengan banyaknya anak, akan menjadi salah satu sebab kemenangan kaum muslimin ketika jihad fi sabilillah dikumandangkan karena jumlahnya yang sangat banyak.
10. Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam bangga akan jumlah ummatnya yang banyak.

Anjuran Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam ini tentu tidak bertentangan dengan manfaat dan hikmah yang dapat dipetik di dalamnya. Meskipun kaum kafir tiada henti-hentinya menakut-nakuti kaum muslimin sepuaya mereka tidak memiliki banyak anak dengan alasan rizki, waktu, dan tenaga yang terbatas untuk mengurus dan memperhatikan mereka. Padahal, bisa jadi dengan adanya anak-anak yang menyambutnya ketika pulang dari bekerja, justru akan membuat rasa letih dan lelahnya hilang seketika. Apalagi jika ia dapat bermain dan bersenda gurau dengan anak-anaknya. Masih banyak lagi keutamaan memiliki banyak anak, dan hal ini tidak bisa dinilai dengan harta.

Bagi seorang muslim yang beriman, ia harus yakin dan mengimani bahwa Allah-lah yang memberikan rizki dan mengatur seluruh rizki bagi hamba-Nya. Tidak ada yang luput dari pemberian rizki Allah ‘Azza wa Jalla, meski ia hanya seekor ikan yang hidup di lautan yang sangat dalam atau burung yang terbang menjulang ke langit. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Dan tidak satu pun makhluk bergerak (bernyawa) di bumi melainkan semuanya dijamin Allah rizkinya. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” [Huud : 6]

Pada hakikatnya, perusahaan tempat bekerja hanyalah sebagai sarana datangnya rizki, bukan yang memberikan rizki. Sehingga, setiap hamba Allah ‘Azza wa Jalla diperintahkan untuk berusaha dan bekerja, sebagai sebab datangnya rizki itu dengan tetap tidak berbuat maksiat kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam usahanya mencari rizki. Firman Allah ‘Azza wa Jalla:

Artinya : “Dan barangsiapa yang bertaqwa kepada Allah, niscaya Dia menjadikan kemudahan baginya dalam urusannya.” [Ath-Thalaq : 4]

Jadi, pada dasarnya tidak ada alasan apa pun yang membenarkan seseorang membatasi dalam memiliki jumlah anak, misalnya dengan menggunakan alat kontrasepsi, yang justru akan membahayakan dirinya dan suaminya, secara medis maupun psikologis

APABILA BELUM DIKARUNIAI ANAK
Allah Yang Maha Berkuasa atas segala sesuatu, Mahaadil, Maha Mengetahui, dan Mahabijaksana meng-anugerahkan anak kepada pasangan suami isteri, dan ada pula yang tidak diberikan anak. Allah ‘Azza wa Jalla berfirman:

“Artinya : Milik Allah-lah kerajaan langit dan bumi; Dia menciptakan apa yang Dia kehendaki, memberikan anak perempuan kepada siapa yang Dia kehendaki, dan memberikan anak laki-laki kepada siapa yang Dia kehendaki, atau Dia menganugerahkan jenis laki-laki dan perempuan, dan menjadikan mandul siapa yang Dia kehendaki. Dia Maha Mengetahui, Mahakuasa.” [Asy-Syuuraa : 49-50]

Apabila sepasang suami isteri sudah menikah sekian lama namun ditakdirkan oleh Allah belum memiliki anak, maka janganlah ia berputus asa dari rahmat Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaklah ia terus berdo’a sebagaimana Nabi Ibrahim ‘alaihis salaam dan Zakariya ‘alaihis salaam telah berdo’a kepada Allah sehingga Allah ‘Azza wa Jalla mengabulkan do’a mereka.

Do’a mohon dikaruniai keturunan yang baik dan shalih terdapat dalam Al-Qur’an, yaitu:

“Ya Rabb-ku, anugerahkanlah kepadaku (seorang anak) yang termasuk orang-orang yang shalih.” [Ash-Shaaffaat : 100]

“...Ya Rabb kami, anugerahkanlah kepada kami pasangan kami dan keturunan kami sebagai penyenang hati (kami), dan jadikanlah kami pemimpin bagi orang-orang yang bertaqwa.” [Al-Furqaan : 74]

“...Ya Rabb-ku, janganlah Engkau biarkan aku hidup seorang diri (tanpa keturunan) dan Engkau-lah ahli waris yang terbaik.” [Al-Anbiyaa' : 89]

“...Ya Rabb-ku, berilah aku keturunan yang baik dari sisi-Mu, sesungguhnya Engkau Maha Mendengar do’a.” [Ali ‘Imran : 38]

Suami isteri yang belum dikaruniai anak, hendaknya ikhtiar dengan berobat secara medis yang dibenarkan menurut syari’at, juga menkonsumsi obat-obat, makanan dan minuman yang menyuburkan. Juga dengan meruqyah diri sendiri dengan ruqyah yang diajarkan Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam dan terus menerus istighfar (memohon ampun) kepada Allah atas segala dosa. Serta senantiasa berdo’a kepada Allah di tempat dan waktu yang dikabulkan. Seperti ketika thawaf di Ka’bah, ketika berada di Shafa dan Marwah, pada waktu sa’i, ketik awuquf di Arafah, berdo’a di sepertiga malam yang akhir, ketika sedang berpuasa, ketika safar, dan lainnya.[10]

Apabila sudah berdo’a namun belum terkabul juga, maka ingatlah bahwa semua itu ada hikmahnya. Do’a seorang muslim tidaklah sia-sia dan Insya Allah akan menjadi simpanannya di akhirat kelak.

Janganlah sekali-kali seorang muslim berburuk sangka kepada Allah! Hendaknya ia senantiasa berbaik sangka kepada Allah. Apa yang Allah takdirkan baginya, maka itulah yang terbaik. Allah Maha Mengetahui, Maha Penyayang kepada hamba-hambaNya, Mahabijaksana dan Mahaadil.

Bagi yang belum dikaruniai anak, gunakanlah kesempatan dan waktu untuk berbuat banyak kebaikan yang sesuai dengan syari’at, setiap hari membaca Al-Qur-an dan menghafalnya, gunakan waktu untuk membaca buku-buku tafsir dan buku-buku lain yang bermanfaat, berusaha membantu keluarga, kerabat terdekat, tetangga-tetangga yang sedang susah dan miskin, mengasuh anak yatim, dan sebagainya.

Mudah-mudahan dengan perbuatan-perbuatan baik yang dikerjakan dengan ikhlas mendapat ganjaran dari Allah di dunia dan di akhirat, serta dikaruniai anak-anak yang shalih.

[Disalin dari buku Bingkisan Istimewa Menuju Keluarga Sakinah, Penulis Yazid bin Abdul Qadir Jawas, Penerbit Putaka A-Taqwa Bogor - Jawa Barat, Cet Ke II Dzul Qa'dah 1427H/Desember 2006]
www.myland59.blogspot.com

Kewajibanmu dlm Keluarga
Asy Syariah category
Kewajibanmu dlm Keluarga

penulis Al-Ustadzah Ummu Ishaq Zulfa Husein Al-Atsariyyah
Sakinah Mengayuh Biduk 11 - November - 2004 10:03:56

dlm Islam peran domestik kaum istri memiliki kedudukan yg sangat mulia. Namun musuh-musuh Islam terus berusaha meruntuhkan sendi dasar rumah tangga ini dgn menggalang berbagai opini menyesatkan. “Pemberdayaan perempuan” “kesetaraan gender” “kungkungan budaya patriarkhi” adl sebagian propaganda yg tiada henti dijejalkan di benak wanita-wanita Islam.

Islam oleh musuh-musuh dituding sebagai ajaran yg tdk sensitif gender. Posisi wanita dlm Islam menurut mereka selalu termarginalkan atau terpinggirkan dlm lingkungan yg didominasi dan dikuasai laki-laki.
Permasalahan yg sering ‘diserang’ kaum feminis dan aktivis perempuan anti Islam adl peran istri/ ibu dlm mengurusi tugas-tugas kerumahtanggaan. Oleh mereka peran ibu yg hanya mengurusi tugas-tugas domestik hanya akan menciptakan ketidakberdayaan sekaligus ketergantungan istri terhadap suaminya.
Juga dikesankan bahwa wanita yg hanya tinggal di rumah adl pengangguran dan menyia-nyiakan setengah dari potensi masyarakat. Propaganda ini didukung oleh opini negatif yg berkembang di masyarakat di mana wanita selama ini tdk lbh dari sekedar “konco wingking” wanita tdk lepas dari “dapur kasur dan sumur” “masak macak manak“ dan sebagainya. Oleh krn itu agar wanita bisa “maju” para wanita harus direposisi dlm ruang publik yg seluas-luasnya.
Gerakan ini gencar dilancarkan musuh-musuh Islam krn mereka sangat paham bagaimana merusak Islam dgn menjadikan wanita muslimah sebagai sasaran bidik. Dengan semakin jauh kaum wanita dari rumah mereka berharap pintu-pintu kerusakan akan semakin terbuka lebar. Lebih jauh jika wanita telah rusak mk tatanan masyarakat Islam akan rusak pula.

Rumahmu Istanamu
Seorang wanita perlu mengetahui bahwa tempat asal berdiam adl dlm rumah dan rumah ini pula yg menjadi tempat bekerja. Dalil-dalil dari syariat yg mulia telah menetapkan dan mempersaksikan tentang hal ini di antaranya:
- Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman kepada Ummahatul Mukminin:
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ
“Dan tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian.”
Makna ayat ini kata Al-Imam Al-Qurthubi rahimahullah adl perintah utk selalu menetap dlm rumah. Walaupun sasaran pembicaraan dlm ayat ini ditujukan kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam namun secara makna wanita selain mereka juga termasuk di dlm perintah ini.
- Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:
لاَ تُخْرِجُوْهُنَّ مِنْ بُيُوْتِهِنَّ وَلاَ يَخْرُجْنَ
“Janganlah kalian mengeluarkan mereka dari rumah-rumah mereka dan janganlah mereka keluar.”
Walaupun ayat di atas berkenaan dgn wanita/ istri yg tengah menjalani masa ‘iddah namun kata ulama hukum tidaklah khusus bagi mereka namun juga berlaku bagi wanita yg lain.
- Pelajaran dari kisah antara Nabi Musa ‘alaihissalam dgn dua orang wanita di Madyan yg Allah kisahkan kepada kita dlm Tanzil-Nya:
وَلَمَّا وَرَدَ مَاءَ مَدْيَنَ وَجَدَ عَلَيْهِ أُمَّةً مِنَ النَّاسِ يَسْقُوْنَ وَوَجَدَ مِنْ دُوْنِهِمُ امْرَأتَيْنِ تَذُوْدَانِ قَالَ مَا خَطْبُكُمَا قَالَتَا لاَ نَسْقِيْ حَتَّى يُصْدِرَ الرِّعَاءُ وَأَبُوْنَا شَيْخٌ كَبِيْرٌ. فَسَقَى لَهُمَا ثُمَّ تَوَلَّى إِلَى الظِّلِّ فَقَالَ رَبِّ إِنِّي لِمَا أَنْزَلْتَ إِلَيَّ مِنْ خَيْرٍ فَقِيْرٌ. فَجَاءَتْهُ إِحْدَاهُمَا تَمْشِي عَلَى اسْتِحْيَاءٍ قَالَتْ إِنَّ أَبِيْ يَدْعُوْكَ لِيَجْزِيَكَ أَجْرَ مَا سَقَيْتَ لَنَا فَلَمَّا جَاءَهُ وَقَصَّ عَلَيْهِ الْقَصَصَ قَالَ لاَ تَخَفْ نَجَوْتَ مِنَ الْقَوْمِ الظَّالِمِيْن. َقَالَتْ إِحْدَاهُمَا يَاأَبَتِ اسْتَأْجِرْهُ إِنَّ خَيْرَ مَنِ اسْتَأْجَرْتَ الْقَوِيُّ اْلأَمِيْنُ
“Tatkala Musa sampai di sumber air negeri Madyan di sana ia menjumpai sekumpulan orang yg sedang meminumkan ternak mereka dan ia menjumpai di belakang orang banyak itu dua orang wanita yg sedang menghambat ternaknya. Musa berkata: ‘Apa maksud kalian berbuat begini kenapa kalian tdk ikut meminumkan ternak kalian bersama mereka?’ Kedua wanita itu menjawab: ‘Kami tdk dapat meminumkan ternak kami sebelum penggembala-penggembala itu memulangkan ternak mereka sedangkan ayah kami1 telah berusia lanjut.’ mk Musa memberi minum ternak itu utk menolong kedua kemudian ia kembali ke tempat yg teduh lalu berdoa: ‘Ya Tuhanku sesungguh aku sangat memerlukan suatu kebaikan yg Engkau turunkan kepadaku.” Kemudian datanglah kepada Musa salah seorang dari kedua wanita itu sembari berjalan dgn malu-malu ia berkata: ‘Ayahku memanggilmu utk membalas kebaikanmu memberi minum ternak kami.’ mk tatkala Musa mendatangi ayah ia menceritakan kisah dirinya. Syu’aib pun berkata: ‘Janganlah takut engkau telah selamat dari orang2 yg zalim itu .’ Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: ‘Wahai ayahku ambillah ia sebagai orang yg bekerja pada kita krn sesungguh orang yg paling baik yg engkau ambil utk bekerja pada kita adl orang yg kuat lagi dapat dipercaya’.”
Karena sifat wara dan takwa yg ada pada kedua kedua wanita ini enggan utk bercampur dgn para penggembala tersebut. Adapun kedua keluar rumah utk memberi minum ternak adl krn darurat di mana sang ayah telah berusia senja sehingga tdk mampu lagi mengurus ternak yg ada. Perjumpaan dgn Nabi Musa ‘alaihissalam membuahkan gagasan di benak salah seorang dari wanita tersebut bahwa telah tiba saat utk mengembalikan perkara pada tempat yg semesti ia pun berkata kepada sang ayah: “Wahai ayahku ambillah ia sebagai orang yg bekerja pada kita krn sesungguh orang yg paling baik yg engkau ambil utk bekerja pada kita adl orang yg kuat lagi dapat dipercaya.” Sang ayah pun menyambut usulan putri kemudian berkata kepada Nabi Musa:
قَالَ إِنِّي أُرِيدُ أَنْ أُنْكِحَكَ إِحْدَى ابْنَتَيَّ هَاتَيْنِ عَلَى أَنْ تَأْجُرَنِي ثَمَانِيَ حِجَجٍ فَإِنْ أَتْمَمْتَ عَشْرًا فَمِنْ عِنْدِكَ وَمَا أُرِيْدُ أَنْ أَشُقَّ عَلَيْكَ سَتَجِدُنِي إِنْ شَاءَ اللَّهُ مِنَ الصَّالِحِيْنَ
“Berkatalah sang ayah: ‘Sesungguh aku bermaksud menikahkan engkau dgn salah seorang dari kedua putriku ini atas dasar engkau bekerja denganku selama delapan tahun dan jika engkau cukupkan sepuluh tahun mk itu adl suatu kebaikan darimu aku tidaklah hendak memberatkanmu. Dan engkau Insya Allah akan mendapatiku termasuk orang2 yg baik’.” (Daurul Mar’ah hal. 1)
- Shalat di masjid sebagai satu amalan yg utama disyariatkan kepada kaum lelaki banyak pahala akan diraih terlebih bila shalat itu dilakukan di Masjid Nabawi. Namun ternyata bersamaan dgn itu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam menganjurkan kaum wanita utk shalat di rumah mereka. Ketika istri Abu Humaid As-Sa’idi datang kepada beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam seraya menyatakan: “Wahai Rasulullah aku senang shalat berjamaah bersamamu.” Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:
قَدْ عَلِمْتُ أَنَّكِ تُحِبِّيْنَ الصَّلاَةَ مَعِيْ وَصَلاَتُكِ فِيْ بَيْتِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِيْ حُجْرَتِكِ وَصَلاَتُكِ فِي حُجْرَتِكِ خَيْرٌ مِنْ صَلاَتِكِ فِي دَارِكِ وَصَلاَتُكِ فِيْ دَارِكِ خَيْرٌ لَكِ مِنْ صَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ وَصَلاَتُكِ فِي مَسْجِدِ قَوْمِكِ خَيْرٌ لَكِ مِن ْصَلاَتِكِ فِي مَسْجِدِيْ
“Sungguh aku tahu engkau senang shalat jamaah denganku namun shalatmu di ruang yg khusus yg ada di rumahmu lbh baik bagimu daripada shalatmu di kamarmu shalatmu di kamarmu lbh baik daripada shalatmu di rumahmu shalatmu di rumahmu lbh baik daripada shalatmu di masjid kaummu dan shalatmu di masjid kaummu lbh baik daripada shalatmu di masjidku.”
Bila seorang wanita tetap tinggal di rumah ia akan bisa menunaikan tugas-tugas dlm rumah memenuhi hak-hak suami mendidik anak-anak dan membekali diri dgn kebaikan. Sementara bila seorang wanita sering keluar rumah ia akan menyia-nyiakan sekian banyak kewajiban yg dibebankan kepadanya.

Keluar rumah saat ada hajat
Dari penjelasan di atas janganlah dipahami bahwa wanita dilarang secara mutlak utk keluar dari rumahnya. Bahkan terdapat keterangan dari syariat tentang kebolehan wanita keluar dari rumah saat ada kebutuhan dan krn darurat.
- ‘Aisyah radhiallahu ‘anha berkisah: “Suatu malam Saudah bintu Zam’ah radhiallahu ‘anha keluar dari rumah utk membuang hajat. Ketika itu ‘Umar ibnul Khaththab radhiallahu ‘anhu melihat dan mengenalinya. ‘Umar pun berkata: “Engkau Saudah demi Allah tdk tersembunyi bagi kami.” Saudah pun kembali menemui Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu ia ceritakan kejadian tersebut kepada beliau. Saat itu Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang makan malam di rumahku. dlm keadaan tangan beliau sedang memegang tulang yg pada ada sisa daging turunlah wahyu beliau pun berkata:
قَدْ أَذِنَ اللهُ لَكُنَّ أَنْ تَخْرُجْنَ لِحَوَائِجِكُنَّ
“Allah telah mengizinkan kalian utk keluar rumah guna menunaikan hajat kalian.”
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberi tuntunan kepada para suami utk tdk melarang istri mereka shalat di masjid bila si istri minta izin padanya:
إِذَا اسْتَأْذَنَتِ امْرَأَةُ أَحَدِكُمْ إِلَى الْمَسْجِدِ فَلاَ يَمْنَعْهَا
“Apabila istri salah seorang dari kalian minta izin ke masjid mk janganlah ia melarangnya.”
Dan beliau menyatakan:
لاَ تَمْنَعُوْا إِمَاءَََََََ اللهِ مَسَاجِدَ اللهِ
“Janganlah kalian mencegah hamba-hamba perempuan Allah dari masjid-masjid Allah.”
- Dari sejarah para shahabiyyah kita mengetahui ada di antara mereka yg keluar menyertai mahram mereka ke medan jihad utk memberi minum kepada mujahidin dan mengobati orang yg luka.
Anas bin Malik radhiallahu ‘anhu berkata:
كَانَ رَسُوْلُ الله صَلَّى الله عَلَيْهِ وَسَلَّم يَغْزُوْ بِأُمِّ سُلَيْمٍ وَنِسْوَة مِنَ الأنْصَارِ مَعَهُ إِذَا غَزَا فَيَسْقِيْنَ الْمَاءَ وَيُدَاوِيْنَ الْجَرْحَى
“Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berperang bersama Ummu Sulaim dan beberapa wanita dari kalangan Anshar ikut bersama beliau ketika beliau berperang. Mereka memberi minum dan mengobati mujahidin yg terluka.”
Ummu ‘Athiyah radhiallahu ‘anhu bertutur: “Aku pernah berperang bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dlm tujuh kali peperangan aku menjaga dan mengurus tunggangan-tunggangan mereka membuatkan makanan utk mereka mengobati orang yg luka dan merawat orang sakit.”
- Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam sendiri bila hendak safar beliau mengundi di antara istri-istri utk menentukan siapa di antara mereka yg akan menyertai beliau dlm safarnya.
Keluar wanita dari rumah ini merupakan pengecualian dari hukum asal2 dan disebabkan kepentingan yg darurat dgn memperhatikan dan menjaga adab-adab ketika keluar rumah seperti berhijab dan sebagai dan juga tdk ada fitnah dan kerusakan yg akan timbul saat ia keluar rumah. Adapun bila wanita keluar rumah utk bekerja krn memperhatikan bualan orang2 yg mengikuti hawa nafsu syaithaniyyah bahwasa bila wanita tetap tinggal di rumah ia akan menjadi pengangguran mk hal ini tidaklah dibolehkan oleh syariat yg agung dan sempurna ini. Bila sampai wanita keluar dari rumah krn memenuhi ajakan manis nan berbisa dari pengikut hawa nafsu tersebut mk akan terjadilah kerusakan yg besar di tengah masyarakat dan sendi-sendi keluarga pun akan hancur.
Asy-Syaikh Abdul Aziz bin Abdullah bin Baz rahimahullah berkata: “Islam menetapkan masing-masing dari suami istri memiliki kewajiban yg khusus agar kedua dapat menjalankan peran hingga sempurnalah bangunan masyarakat di dlm dan di luar rumah. Suami berkewajiban mencari nafkah dan penghasilan sedangkan istri berkewajiban mendidik anak-anak memberikan kasih sayang menyusui dan mengasuh mereka serta tugas-tugas lain yg sesuai bagi seperti mengajar anak-anak perempuan mengurusi sekolah mereka merawat dan mengobati mereka dan pekerjaan yg semisal yg khusus bagi wanita. Bila wanita sampai meninggalkan kewajiban dlm rumah berarti ia menyia-nyiakan rumah berikut penghuninya. Hal tersebut berdampak terpecah keluarga baik secara hakiki maupun maknawi.”

Arti wanita dlm keluarga
Keberadaan seorang wanita sebagai istri dan ibu dlm keluarga memiliki arti yg sangat penting bahkan bisa dikatakan dia merupakan satu tiang yg menegakkan kehidupan keluarga dan termasuk pemeran utama dlm mencetak “orang2 besar.” Sehingga tepat sekali bila dikatakan: “Di balik tiap orang besar ada seorang wanita yg mengasuh dan mendidiknya.”
Asy-Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan: “Perbaikan masyarakat dapat dilakukan dgn dua cara:
Pertama: Perbaikan secara dzahir yg dilakukan di pasar-pasar di masjid-masjid dan selain dari perkara-perkara yg dzahir. Ini didominasi oleh lelaki krn merekalah yg biasa tampil di depan umum.
Kedua: Perbaikan masyarakat yg dilakukan dari balik dinding/ tembok. Perbaikan seperti ini dilakukan di rumah-rumah dan secara umum hal ini diserahkan kepada kaum wanita. Karena wanita adl pengatur dlm rumah sebagaimana Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman yg ditujukan ketika itu kepada para istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ إِنَّمَا يُرِيْدُ اللَّهُ لِيُذْهِبَ عَنْكُمُ الرِّجْسَ أَهْلَ الْبَيْتِ وَيُطَهِّرَكُمْ تَطْهِيْرًا
“Tetaplah kalian tinggal di rumah-rumah kalian dan jangan kalian bertabarruj sebagaimana tabarruj orang2 jahiliyyah yg pertama. Tegakkanlah shalat tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya. Allah hanyalah berkehendak utk menghilangkan dosa dari kalian wahai ahlul bait dan mensucikan kalian dgn sebersih-bersihnya.”
Kami yakin setelah ini bahwasa tdk salah bila kami katakan perbaikan setengah masyarakat itu atau bahkan mayoritas tergantung pada wanita dikarenakan dua sebab berikut ini:
Pertama: Kaum wanita itu jumlah sama dgn kaum lelaki bahkan lbh banyak yakni keturunan Adam mayoritas wanita sebagaimana hal ini ditunjukkan oleh As-Sunnah An-Nabawiyyah. Akan tetapi hal ini tentu berbeda antara satu negeri dgn negeri lain satu zaman dgn zaman lain. Terkadang di satu negeri jumlah wanita lbh banyak daripada jumlah laki2 dan terkadang di negeri lain justru sebaliknya. Sebagaimana di satu masa kaum wanita lbh banyak daripada laki2 namun di masa lain justru sebalik laki2 lbh dominan. Apapun keadaan wanita memiliki peran yg besar dlm memperbaiki masyarakat.
Kedua: Tumbuh dan berkembang satu generasi pada awal berada dlm asuhan wanita. Dengan ini jelaslah tentang kewajiban wanita dlm memperbaiki masyarakat.”
Bila demikian keadaan apakah bisa diterima ucapan yg mengatakan bahwa wanita yg bekerja dlm rumah berkhidmat pada keluarga adl pengangguran? Manakah yg hakekat lbh utama lbh berhasil dan lbh bahagia wanita yg tinggal di rumah menjaga diri dan kehormatan melayani suami hingga keluarga menjadi keluarga yg sakinah penuh cinta dan kasih sayang dan ia mengasuh anak-anak hingga tumbuh menjadi anak-anak yg berbakti dan berguna bagi masyarakat ataukah seorang wanita yg sibuk mengejar karier di kantor bersaing dgn para lelaki bercampur baur dgn mereka sementara suami dan anak-anak ia serahkan pengurusan kepada orang lain? Manakah yg lbh merasakan ketentraman dan ketenangan?
Hendaklah dipahami oleh para wanita bahwa pekerjaan berkhidmat pada keluarga merupakan satu ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala. Pekerjaan di dlm rumah bukanlah semata-mata gerak tubuh namun pekerjaan itu memiliki ruh yg bisa dirasakan oleh orang yg mengerti tujuan kehidupan dan rahasia terwujud insan.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
إِذَا صَلَّتِ الْمَرْأَةُ خَمْسَهَا وَصَامَتْ شَهْرَهَا وَحَفِظَتْ فَرْجَهَا وَأَطَاعَتْ بَعْلَهَا دَخَلَتْ مِنْ أَيِّ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ شَاءَتْ
“Apabila seorang wanita mengerjakan shalat lima waktu puasa di bulan Ramadhan ia menjaga kemaluan dan taat kepada suami mk ia akan masuk surga dari pintu surga mana saja ia inginkan”.
Surga sebagai tempat yg sarat dgn keni’matan yg kekal abadi dapat dimasuki seorang wanita yg menyibukkan diri dgn ibadah kepada Allah menjaga kehormatan diri dan taat kepada suami dan tentu semua ini dilakukan oleh seorang wanita di dlm rumahnya.

Pekerjaan wanita di dlm rumah
Beberapa pekerjaan yg bisa dilakukan wanita di dlm rumah seperti:
Pertama: ibadah kepada Allah.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمَا خَلَقْتُ الْجِنَّ وَاْلإِنْسَ إِلاَّ لِيَعْبُدُوْنِ
“Tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia kecuali utk beribadah kepada-Ku.”
Ketika Allah Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan Ummahatul Mukminin utk berdiam di rumah mereka Allah gandengkan perintah tersebut dgn perintah beribadah.
وَقَرْنَ فِي بُيُوْتِكُنَّ وَلاَ تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ اْلأُوْلَى وَأَقِمْنَ الصَّلاَةَ وَآتِيْنَ الزَّكَاةَ وَأَطِعْنَ اللَّهَ وَرَسُوْلَهُ
“Dan tetaplah kalian di rumah-rumah kalian dan janganlah bertabarruj seperti tabarruj orang2 jahiliyyah yg terdahulu tegaklah shalat tunaikanlah zakat dan taatlah kepada Allah dan Rasul-Nya.”
Dengan menegakkan ibadah kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala ini akan sangat membantu seorang wanita utk melaksanakan peran dlm rumah tangga. Dan dgn ia melaksanakan ibadah disertai kekhusyuan dan ketenangan yg sempurna akan memberi dampak positif kepada orang2 yg ada di dlm rumah baik itu anak-anak ataupun selain mereka.
Kedua: Wanita berperan memberikan sakan bagi suami dan juga bagi rumahnya.
Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
وَمِنْ آيَاتِهِ أَنْ خَلَقَ لَكُمْ مِنْ أَنْفُسِكُمْ أَزْوَاجًا لِتَسْكُنُوْا إِلَيْهَا وَجَعَلَ بَيْنَكُمْ مَوَدَّةً وَرَحْمَةً
“Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya Dia menciptakan utk kalian pasangan-pasangan dari diri-diri kalian agar kalian merasakan ketenangan pada dan Dia menjadikan di antara kalian mawaddah dan rahmah…”
Seorang wanita tdk bisa menjadi sakan bagi suami sampai dia memahami hak dan kedudukan suami kemudian ia melaksanakan hak-hak tersebut dlm rangka taat kepada Allah dgn penuh kesenangan dan keridhaan. Seorang wanita perlu mengetahui tentang besar hak suami terhadap sampai-sampai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Seandai aku boleh memerintahkan seseorang utk sujud kepada orang lain niscaya aku perintahkan seorang istri utk sujud kepada suami.”
Ketika suami telah meninggal pun ia diperintah utk menahan diri dari berhias selama 4 bulan 10 hari.
لاَ يَحِلُّ لامْرَأَةٍ تُؤْمِنُ بِاللهِ وَالْيَوْمِ اْلآخِرِ أَنْ تُحِدَّ عَلَى الْمَيِّتِ فَوْقَ ثَلاثٍ إلا عَلَى زَوْجٍ فَإِنَّهَا تُحِدُّ أَرْبَعَةَ أَشْهُرٍ وَعَشْرًا
“Tidak halal bagi seorang wanita yg beriman kepada Allah dan hari akhir utk berihdad atas mayit lbh dari tiga hari kecuali bila yg meninggal itu adl suami mk ia berihdad selama 4 bulan 10 hari.”
Seorang wanita bisa menjadi sakan bagi rumah bila ia menegakkan beberapa hal berikut ini:
1. Taat secara sempurna kepada suami dlm perkara yg bukan maksiat kepada Allah
Taat ini merupakan asas ketenangan krn suami sebagai qawwam tdk akan bisa melaksanakan kepemimpinan tanpa ketaatan. Dan ketaatan kepada suami ini lbh didahulukan daripada melakukan ibadah-ibadah sunnah. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
لاَ يِحِلُّ لِلْمَرْأَةِ أَْنْ تَصُوْمَ وَزَوْجُهَا شَاهِدٌ إِلاَّ بِإِذْنِهِ
“Tidak boleh seorang wanita puasa sementara suami ada di tempat kecuali setelah mendapatkan izin suaminya.”
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah berkata: “Larangan ini menunjukkan keharaman demikian diterangkan dgn jelas oleh orang2 dlm madzhab kami.” . Hal ini merupakan pendapat jumhur ulama sebagaimana disebutkan dlm Fathul Bari .
Al-Imam An-Nawawi rahimahullah juga memberikan alasan dlm hal ini: “Sebab adl suami memiliki hak utk istimta’ dgn si istri sepanjang hari hak dlm hal ini wajib utk segera ditunaikan sehingga jangan sampai hak ini luput ditunaikan krn si istri sedang melakukan ibadah sunnah ataupun ibadah yg wajib namun dapat ditunda.”
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah mengatakan: “Hadits ini menunjukkan bahwa lbh ditekankan kepada istri utk memenuhi hak suami daripada mengerjakan kebajikan yg hukum sunnah krn hak suami itu wajib sementara menunaikan kewajiban lbh didahulukan daripada menunaikan perkara yg sunnah.”
“Wajib bagi wanita/ istri utk taat kepada suami dlm perkara yg ia perintahkan dlm batasan kemampuan krn hal ini termasuk keutamaan yg Allah berikan kepada kaum lelaki di atas kaum wanita sebagaimana dlm ayat:
الرِّجَالُ قَوَّامُوْنَ عَلىَ النِّسَاءِ
“Kaum lelaki itu adl pemimpin bagi kaum wanita.”
dan ayat:
وَلِلرِّجَالِ عَلَيْهِنَّ دَرَجَةٌ
“Dan bagi kaum lelaki kedudukan satu derajat di atas kaum wanita.”
Hadits-hadits shahih yg ada memperkuat makna ini dan menjelaskan dgn terang apa yg akan diperoleh wanita dari kebaikan ataupun kejelekan bila ia mentaati suami atau mendurhakai demikian dikatakan oleh Asy-Syaikh Al-Albani rahimahullah dlm Adabuz Zifaf hal. 175-176.
2. Mengerjakan pekerjaan rumah yg dibutuhkan dlm kehidupan keluarga seperti memasak menjaga kebersihan mencuci dan semisalnya.
Seorang wanita semesti melakukan tugas-tugas di atas dgn penuh kerelaan dan kelapangan hati dan kesadaran bahwa hal itu merupakan ibadah kepada Allah. Telah lewat teladan dari para sahabat dlm masalah ini. Mungkin kita masih ingat bagaimana kisah Fathimah bintu Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam yg menggiling gandum sendiri utk membuat kue hingga membekaskan kapalan pada kedua tangannya. Ketika akhir ia meminta pembantu kepada ayah utk meringankan pekerjaan mk sang ayah yg mulia memberikan yg lbh baik bagi putri terkasih.
أَلاَ أَدُلُّكُمَا عَلَى خَيْرِ مِمَّا سَأَلْتُمَانِي؟ إِذَا أَخَذْتُمَا مَضَاجِعَكُمَا فَكَبِّرَا اللهَ أَرْبَعًا وَثَلاثِيْنَ وَاحْمَدَا ثَلاثًا وَثَلاثِيْنَ وَسَبِّحَا ثَلاثًا وَثلاثِيْنَ فَإِنَّ ذَلِكَ خَيْرٌ لَكُمَا مِمَّا سَأَلْتُمَاهُ
“Maukah aku tunjukkan yg lbh baik bagi kalian berdua daripada seorang pembantu? Bila kalian berdua hendak berbaring di tempat tidur kalian bertakbirlah 34 kali bertahmidlah 33 kali dan bertasbihlah 33 kali. mk yg demikian itu lbh baik bagi kalian daripada apa yg kalian minta.”
Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sama sekali tdk mengingkari khidmat yg dilakukan putri dgn penuh kepayahan padahal putri adl wanita yg utama dan mulia. Bahkan beliau mengakui khidmat tersebut dan memberi hiburan kepada putri dgn perkara ibadah yg lbh baik daripada seorang pembantu.
3. Menjaga rahasia suami dan kehormatan sehingga menumbuhkan kepercayaan suami secara penuh terhadapnya.
4. Menjaga harta suami.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
خَيْرُ نِسَاءِ رَكِبْنَ اْلإِبِل صَالِحُ نِسَاءِ فُرَيْشٍ: أَحْنَاهُ عَلَى وَلَدٍ فِي صَغِيْرِهِ وَأَرْعَاهُ عَلَى زَوْجٍ فِي ذَاتِ يَدِهِ
“Sebaik-baik wanita penunggang unta wanita Quraisy yg baik adl yg sangat penyayang terhadap anak ketika kecil dan sangat menjaga suami dlm apa yg ada di tangannya.” .
Maksud sabda Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam: adl wanita itu sangat menjaga dan memelihara harta suami dgn berbuat amanah dan tdk boros dlm membelanjakannya.
Al-Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah berkata: “Hadits ini menunjukkan keutamaan sifat kasih sayang tarbiyah yg baik mengurusi anak-anak menjaga harta suami mengurusi dan mengatur dgn cara yg baik.”
5. Bergaul dgn suami dgn cara yg baik.
Dengan memaafkan kesalahan suami bila ia bersalah membuat ridha ketika ia marah menunjukkan rasa cinta kepada dan penghargaan mengucapkan kata-kata yg baik dan wajah yg selalu penuh senyuman. Juga memperhatikan makanan minuman dan pakaian suami.
6. Mengatur waktu sehingga semua pekerjaan tertunaikan pada waktu menjaga kebersihan dan keteraturan rumah sehingga selalu tampak rapi hingga menyenangkan pandangan suami dan membuat anak-anak pun betah.
7. Jujur terhadap suami dlm segala sesuatu khusus ketika ada sesuatu yg terjadi sementara suami berada di luar rumah. Jauhi sifat dusta krn hal ini akan menghilangkan kepercayaan suami.
Ketiga: mendidik anak-anak
Tugas ini termasuk tugas terpenting seorang wanita di dlm rumah krn dgn memperhatikan pendidikan anak-anak berarti ia mempersiapkan sebuah generasi yg baik dan diridhai oleh Rabbul Alamin. Dan tanggung jawab ini ia tunaikan bersama-sama dgn suami krn tiap mereka adl mas’ul yg akan dita tentang tanggung jawabnya. Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:
يَاأَيُّهَا الَّذِيْنَ آمَنُوا قُوْا أَنْفُسَكُمْ وَأَهْلِيْكُمْ نَارًا
“Wahai orang2 yg beriman jagalah diri-diri kalian dan keluarga kalian dari api neraka yg bahan bakar adhaah manusia dan batu.”
Keempat: mengerjakan pekerjaan lain di dlm rumah bila ada kelapangan waktu dan kesempatan seperti menjahit pakaian utk keluarga dan selainnya. Dengan cara ini ia bisa berhemat utk keluarga di samping membantu suami menambah penghasilan keluarga.
Apa yg disebutkan di atas dari tugas seorang wanita merupakan tugas yg berat namun akan bisa ditunaikan dgn baik oleh seorang wanita yg shalihah yg membekali diri dgn ilmu agama ditambah bekal pengetahuan yg diperlukan utk mendukung tugas di dlm rumah. Adapun bila wanita itu tdk shalihah jahil lagi bodoh mk di tangan akan tersia-siakan tugas yg mulia tersebut.
Wallahu ta’ala a’lam.

1 Adapun penyebutan bahwa nama ayah kedua wanita tersebut adl Nabi Syu’aib hal ini tdk tsabit . Hal ini diterangkan oleh Ibnu Katisr dlm Tafsir- menukil perkataan Ibnu Jarir: “Yang benar bahwa hal seperti ini tdk dapat diketahui kecuali dgn ada kabar/ atsar dan tdk ada atsar yg dapat menjadi pegangan dlm hal ini.”
2 Yaitu wanita harus tinggal dlm rumah dan melakukan pekerjaan di dlm rumah.

Sumber: www.asysyariah.com
www.myland59.blogspot.com

10 Tanda orang yang ikhlas


January 3, 2011 - Posted in Amaliah -

Orang-orang yang ikhlas adalah orang yang kualitas beramalnya dalam kondisi ada atau tidak ada orang yang memperhatikan adalah sama. Berikut diantara tanda-tanda orang yang ikhlas dalam beramal.

1. Ia tidak mencari popularitas dan tidak menonjolkan diri. Karena ia sadar, sehebat apapun ketenaran disisi manusia tiada berarti di hadapan Allah andaikata tidak memiliki keikhlasan. Seorang hamba ahli ikhlas tidak sibuk menonjolkan diri, menyebut-nyebut amalnya, memamerkan hartanya, keilmuannya, kedudukannya, dan aneka topeng duniawi lainnya. Karena itu tiada berguna kalau Allah menghinakannya

2. Tidak rindu pujian dan tidak terkecoh pujian. Baginya pujian hanyalah sangkaan orang pada kita, padahal kita tahu keadaan diri kita yang sebenarnya. Bagi seorang yang ikhlas, dipuji, dihargai, tidak dipuji, bahkan dicaci sama saja. Karena baginya pujian dari Allah-lah yang terpenting. Allah-lah tujuan dari segala amalnya.

3. Tidak silau dan cinta jabatan. Allah tidak pernah menilai pangkat dan jabatan seseorang, namun yang dinilai adalah tanggung jawab terhadap amanah dari jabatannya. Maka hamba Allah yang ikhlas tidak bangga dan ujub karena jabatannya.

4. Tidak dipebudak Imbalan dan balas budi. Seorang hamba ahli ikhlas sangat yakin kepada janji dan jaminan Allah, baginya mustahil Allah memungkiri janji-janji-Nya. Bagi seorang hamba yang ikhlas, rezekinya adalah ketika ia berbuat sesuatu bukan ketika mendapatkan sesuatu. Balasannya cukup dari Allah saja, yang pasti, tidak akan meleset, dan tidak akan salah perhitungan-Nya.

5. Tidak mudah kecewa. Seorang yang ikhlas yakin benar bahwa apa yang diniatkan dengan baik, lalu terjadi atau tidak yang ia niatkan itu, semuanya pasti telah dilihat dan dinilai oleh Allah SWT.

6. Tidak Membedakan Amal Besar dan Amal Kecil. Seorang hamba yang ikhlas tidak peduli amal itu kecil dalam pandangan manusia atau tidak, ada yang menyaksikan atau tidak. Karena dihadapan Allah tidak ada satupun amal yang remeh andaikata dilakukan dengan tulus sepenuh hati karena Allah semata.
7. Tidak fanatik golongan. Seorang muslim yang ikhlas sangat sadar bahwa tujuan dari perjuangan hidupnya adalah Allah SWT, maka yang akan dibela pun adalah kepentingan yang diridhoi oleh Allah. Tidak tegantung perasaan pribadi. Selama apa yang diperjuangkan adalah untuk membela agama Islam, maka ia pun akan turut membela.

8. Ringan, lahab dan Nikmat dalam Beramal. Keikhlasan adalah buah keyakinan yang mendalam dari seorang hamba Allah sehingga perbuatan apapun yang disukai oleh Allah, dapat membuatnya bertambah dekat dengan Allah, akan menjadi program kesehariannya. Semua dilakukan dengan ringan, lahab, dan nikmat.

9. Tidak egois karena selalu mementingkan kepentingan bersama. Orang yang ikhlas tidak pernah keberatan dengan keberadaan orang lain yang lebih pandai, lebih sholeh, lebih bermutu darinya. Meski menurut pandangan manusia ia akan tesaingi dengan keberadaan orang yang melebihi dirinya, namun orang yang ikhlas beramal bukan untuk mencari popularitas. Baginya yang terpenting adalah maju bersama demi kepentingan bersama.

10. Tidak Membeda-bedakan dalam pergaulan. Seorang yang ikhlas tidak akan membeda-bedakan teman. Tegur sapanya tidak akan terbatas pada orang tertentu, senyumnya tidak akan terbatas pada yang dikenalnya, dan pintunya selalu terbuka untuk siapa saja.
Subhanallah, demikian luhurnya tanda-tanda seorang hamba yang ikhlas. pakah tanda-tanda tesebut ada dalam diri kita ? Bersyukurlah bagi hamba yang dalam dirinya telah dilingkupi tanda-tanda keikhlasan. Wallahu a’lam bish showab
.
Sumber : waspada online


www.myland59.blogspot.com

Senin, 23 Januari 2012

Cara Taubat


Sesungguhnya tidak satu manusia pun di alam ini yang terbebas dari dosa walaupun kecil. Namun demikian, Allah SWT dengan rahmat-Nya kepada hamba-hamba-Nya selalu memberikan kepada mereka yang berbuat dosa kesempatan untuk bertaubat dari segala dosa dan kesalahan. Allah selalu membukakan pintu taubat-Nya bagi hamba-hamba-Nya yang mau bertaubat selama ruhnya belum berada di kerongkongan atau matahari terbit dari barat.
Taubat dari dosa menurut Al Ghozali adalah kembali kepada Sang Maha Penutup aib dan Yang Maha Mengetahui yang ghaib (Allah SWT). Ia merupakan awal perjalanan orang-orang yang berjalan, modal orang-orang sukses, langkah awal para pencinta kebaikan, kunci istiqomah orang-orang yang cenderung kepada-Nya, awal pemilihan dari orang-orang yang mendekatkan dirinya, seperti bapak kita Adam as dan seluruh para Nabi. (Ihya Ulumuddin juz IV hal 3)

Tentunya taubat seorang yang berdosa hendaklah dilakukan secara serius dan sungguh-sungguh bukan bertaubat kemudian dengan mudahnya dia mengulangi lagi perbuatan maksiatnya. Inilah yang disebut dengan Taubat Nasuha artinya taubat yang sebenar-benarnya, murni dan tulus, sebagaimana firman Allah SWT, ”Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami, sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu." (QS. At Tahrim : 8)
Dosa yang dilakukan seorang manusia baik yang terkait dengan Allah SWT, seperti: tidak menjalankan perintah-perintah-Nya ataupun dosa yang terkait dengan manusia lainnya, seperti: mencuri harta bendanya dan lainnya, menuntutnya untuk melakukan taubat, agar Allah SWT memberikan ampunan kepadanya dan manusia yang dizalimi tersebut memberikan pemaafan kepadanya.
Cara-cara melakukan taubat nasuha :
1. Meninggalkan kemaksiataan yang dilakukannya.
2. Menyesali perbuatannya.
3. Bertekad kuat untuk tidak mengulangi lagi selama-lamanya.
4. Jika terkait dengan hak-hak orang lain maka hendaklah ia mengembalikannya kepada yang memilikinya.
Wallahu A’lam

Sumber: Eramuslim
www.myland59.blogspot.com

Senin, 02 Januari 2012

Kiat - Kiat Agar Tetap Istiqomah

Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah

Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali. Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)
Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
1. Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
2. Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
3. Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.

Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan. Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput “Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah. Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a, “Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”

Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)
Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.” Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”

Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah
Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”

Kiat-Kiat Agar Tetap Istiqomah

Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.

Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman,
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)
Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik. Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.

Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)

Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat, “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)

Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu.
Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,

“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44).
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.

Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”

‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”
Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.” Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam. Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.

Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11) Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan. Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.

Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman, “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita. “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”
Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.

Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.
Sumber: www.muslim.or.id
Keutamaan Orang yang Bisa Terus Istiqomah
Yang dimaksud istiqomah adalah menempuh jalan (agama) yang lurus (benar) dengan tidak berpaling ke kiri maupun ke kanan. Istiqomah ini mencakup pelaksanaan semua bentuk ketaatan (kepada Allah) lahir dan batin, dan meninggalkan semua bentuk larangan-Nya. Inilah pengertian istiqomah yang disebutkan oleh Ibnu Rajab Al Hambali. Di antara ayat yang menyebutkan keutamaan istiqomah adalah firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah” kemudian mereka istiqomah pada pendirian mereka, maka malaikat akan turun kepada mereka (dengan mengatakan): “Janganlah kamu merasa takut dan janganlah kamu merasa sedih; dan bergembiralah kamu dengan (memperoleh) surga yang telah dijanjikan Allah kepadamu”.” (QS. Fushilat: 30)

Yang dimaksud dengan istiqomah di sini terdapat tiga pendapat di kalangan ahli tafsir:
1. Istiqomah di atas tauhid, sebagaimana yang dikatakan oleh Abu Bakr Ash Shidiq dan Mujahid,
2. Istiqomah dalam ketaatan dan menunaikan kewajiban Allah, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu ‘Abbas, Al Hasan dan Qotadah,
3. Istiqomah di atas ikhlas dan dalam beramal hingga maut menjemput, sebagaimana dikatakan oleh Abul ‘Aliyah dan As Sudi.

Dan sebenarnya istiqomah bisa mencakup tiga tafsiran ini karena semuanya tidak saling bertentangan. Ayat di atas menceritakan bahwa orang yang istiqomah dan teguh di atas tauhid dan ketaatan, maka malaikat pun akan memberi kabar gembira padanya ketika maut menjemput “Janganlah takut dan janganlah bersedih“. Mujahid, ‘Ikrimah, dan Zaid bin Aslam menafsirkan ayat tersebut: “Janganlah takut pada akhirat yang akan kalian hadapi dan janganlah bersedih dengan dunia yang kalian tinggalkan yaitu anak, keluarga, harta dan tanggungan utang. Karena para malaikat nanti yang akan mengurusnya.” Begitu pula mereka diberi kabar gembira berupa surga yang dijanjikan. Dia akan mendapat berbagai macam kebaikan dan terlepas dari berbagai macam kejelekan. Zaid bin Aslam mengatakan bahwa kabar gembira di sini bukan hanya dikatakan ketika maut menjemput, namun juga ketika di alam kubur dan ketika hari berbangkit. Inilah yang menunjukkan keutamaan seseorang yang bisa istiqomah. Al Hasan Al Bashri ketika membaca ayat di atas, ia pun berdo’a,

“Allahumma anta robbuna, farzuqnal istiqomah (Ya Allah, Engkau adalah Rabb kami. Berikanlah keistiqomahan pada kami).”
Yang serupa dengan ayat di atas adalah firman Allah subhanahu wa ta’ala,: "Sesungguhnya orang-orang yang mengatakan: “Rabb kami ialah Allah”, kemudian mereka tetap istiqamah maka tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan mereka tiada (pula) berduka cita. Mereka itulah penghuni-penghuni surga, mereka kekal di dalamnya; sebagai balasan atas apa yang telah mereka kerjakan.” (QS. Al Ahqaf: 13-14)

Dari Abu ‘Amr atau Abu ‘Amrah Sufyan bin Abdillah, beliau berkata, “Wahai Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ajarkanlah kepadaku dalam (agama) islam ini ucapan (yang mencakup semua perkara islam sehingga) aku tidak (perlu lagi) bertanya tentang hal itu kepada orang lain setelahmu [dalam hadits Abu Usamah dikatakan, "selain engkau"]. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Katakanlah: “Aku beriman kepada Allah“, kemudian beristiqamahlah dalam ucapan itu.” Ibnu Rajab mengatakan, “Wasiat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ini sudah mencakup wasiat dalam agama ini seluruhnya.”

Pasti Ada Kekurangan dalam Istiqomah

Ketika kita ingin berjalan di jalan yang lurus dan memenuhi tuntutan istiqomah, terkadang kita tergelincir dan tidak bisa istiqomah secara utuh. Lantas apa yang bisa menutupi kekurangan ini? Jawabnnya adalah pada firman Allah Ta’ala,
“Katakanlah: “Bahwasanya aku hanyalah seorang manusia seperti kamu, diwahyukan kepadaku bahwasanya Rabbmu adalah Rabb Yang Maha Esa, maka tetaplah istiqomah pada jalan yan lurus menuju kepada-Nya dan mohonlah ampun kepada-Nya.” (QS. Fushilat: 6). Ayat ini memerintahkan untuk istiqomah sekaligus beristigfar (memohon ampun pada Allah).

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Ayat di atas “Istiqomahlah dan mintalah ampun kepada-Nya” merupakan isyarat bahwa seringkali ada kekurangan dalam istiqomah yang diperintahkan. Yang menutupi kekurangan ini adalah istighfar (memohon ampunan Allah). Istighfar itu sendiri mengandung taubat dan istiqomah (di jalan yang lurus).”

Kiat-Kiat Agar Tetap Istiqomah

Ada beberapa sebab utama yang bisa membuat seseorang tetap teguh dalam keimanan.

Pertama: Memahami dan mengamalkan dua kalimat syahadat dengan baik dan benar. Allah Ta’ala berfirman,
“Allah meneguhkan (iman) orang-orang yang beriman dengan ucapan yang teguh itu dalam kehidupan di dunia dan di akhirat; dan Allah menyesatkan orang-orang yang lalim dan memperbuat apa yang Dia kehendaki.” (QS. Ibrahim: 27)

Mengapa Allah bisa teguhkan orang beriman di dunia dengan terus beramal sholih dan di akhirat (alam kubur) dengan dimudahkan menjawab pertanyaan malaikat “Siapa Rabbmu, siapa Nabimu dan apa agamamu”? Jawabannya adalah karena pemahaman dan pengamalannya yang baik dan benar terhadap dua kalimat syahadat. Dia tentu memahami makna dua kalimat syahadat dengan benar. Memenuhi rukun dan syaratnya. Serta dia pula tidak menerjang larangan Allah berupa menyekutukan-Nya dengan selain-Nya, yaitu berbuat syirik. Oleh karena itu, kiat pertama ini menuntunkan seseorang agar bisa beragama dengan baik yaitu mengikuti jalan hidup salaful ummah yaitu jalan hidup para sahabat yang merupakan generasi terbaik dari umat ini. Dengan menempuh jalan tersebut, ia akan sibuk belajar agama untuk memperbaiki aqidahnya, mendalami tauhid dan juga menguasai kesyirikan yang sangat keras Allah larang sehingga harus dijauhi. Oleh karena itu, jalan yang ia tempuh adalah jalan Ahlus Sunnah wal Jama’ah dalam beragama yang merupakan golongan yang selamat yang akan senantiasa mendapatkan pertolongan Allah.

Kedua: Mengkaji Al Qur’an dengan menghayati dan merenungkannya.
Allah menceritakan bahwa Al Qur’an dapat meneguhkan hati orang-orang beriman dan Al Qur’an adalah petunjuk kepada jalan yang lurus. Allah Ta’ala berfirman,
“Katakanlah: “Ruhul Qudus (Jibril) menurunkan Al Qur’an itu dari Rabbmu dengan benar, untuk meneguhkan (hati) orang-orang yang telah beriman, dan menjadi petunjuk serta kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri (kepada Allah)”.” (QS. An Nahl: 102)

Oleh karena itu, Al Qur’an itu diturunkan secara beangsur-angsur untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sebagaimana terdapat dalam ayat, “Berkatalah orang-orang yang kafir: “Mengapa Al Qur’an itu tidak diturunkan kepadanya sekali turun saja?”; demikianlah supaya Kami perkuat hatimu dengannya dan Kami membacakannya secara tartil (teratur dan benar).” (QS. Al Furqon: 32)
Al Qur’an adalah jalan utama agar seseorang bisa terus kokoh dalam agamanya. Alasannya, karena Al Qur’an adalah petunjuk dan obat bagi hati yang sedang ragu.

Sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Al Qur’an itu adalah petunjuk dan penawar bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Fushilat: 44).
Oleh karena itu, kita akan saksikan keadaan yang sangat berbeda antara orang yang gemar mengkaji Al Qur’an dan merenungkannya dengan orang yang hanya menyibukkan diri dengan perkataan filosof dan manusia lainnya. Orang yang giat merenungkan Al Qur’an dan memahaminya, tentu akan lebih kokoh dan teguh dalam agama ini. Inilah kiat yang mesti kita jalani agar kita bisa terus istiqomah.

Ketiga: Iltizam (konsekuen) dalam menjalankan syari’at Allah
Maksudnya di sini adalah seseorang dituntunkan untuk konsekuen dalam menjalankan syari’at atau dalam beramal dan tidak putus di tengah jalan. Karena konsekuen dalam beramal lebih dicintai oleh Allah daripada amalan yang sesekali saja dilakukan. Sebagaimana disebutkan dalam hadits dari ‘Aisyah –radhiyallahu ‘anha-, beliau mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Amalan yang paling dicintai oleh Allah Ta’ala adalah amalan yang kontinu walaupun itu sedikit.”

‘Aisyah pun ketika melakukan suatu amalan selalu berkeinginan keras untuk merutinkannya. An Nawawi rahimahullah mengatakan, “Ketahuilah bahwa amalan yang sedikit namun konsekuen dilakukan, itu lebih baik dari amalan yang banyak namun cuma sesekali saja dilakukan. Ingatlah bahwa amalan sedikit yang rutin dilakukan akan melanggengkan amalan ketaatan, dzikir, pendekatan diri pada Allah, niat dan keikhlasan dalam beramal, juga akan membuat amalan tersebut diterima oleh Sang Kholiq Subhanahu wa Ta’ala. Amalan sedikit namun konsekuen dilakukan akan memberikan ganjaran yang besar dan berlipat dibandingkan dengan amalan yang sedikit namun sesekali saja dilakukan.”

Ibnu Rajab Al Hambali menjelaskan, “Amalan yang dilakukan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah amalan yang konsekuen dilakukan (kontinu). Beliau pun melarang memutuskan amalan dan meninggalkannya begitu saja. Sebagaimana beliau pernah melarang melakukan hal ini pada sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar.” Yaitu Ibnu ‘Umar dicela karena meninggalkan amalan shalat malam. Selain amalan yang kontinu dicintai oleh Allah, amalan tersebut juga dapat mencegah masuknya virus “futur” (jenuh untuk beramal). Jika seseorang beramal sesekali namun banyak, kadang akan muncul rasa malas dan jenuh. Sebaliknya jika seseorang beramal sedikit namun ajeg (terus menerus), maka rasa malas pun akan hilang dan rasa semangat untuk beramal akan selalu ada. Itulah mengapa kita dianjurkan untuk beramal yang penting kontinu walaupun jumlahnya sedikit.

Keempat: Membaca kisah-kisah orang sholih sehingga bisa dijadikan uswah (teladan) dalam istiqomah.
Dalam Al Qur’an banyak diceritakan kisah-kisah para nabi, rasul, dan orang-orang yang beriman yang terdahulu. Kisah-kisah ini Allah jadikan untuk meneguhkan hati Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan mengambil teladan dari kisah-kisah tersebut ketika menghadapi permusuhan orang-orang kafir. Allah Ta’ala berfirman,
“Dan semua kisah dari rasul-rasul Kami ceritakan kepadamu, ialah kisah-kisah yang dengannya Kami teguhkan hatimu; dan dalam surat ini telah datang kepadamu kebenaran serta pengajaran dan peringatan bagi orang-orang yang beriman.” (QS. Hud: 11) Oleh karena itu, para salaf sangat senang sekali mempelajari kisah-kisah orang sholih agar bisa diambil teladan. Itulah pentingnya merenungkan kisah-kisah orang sholih. Hati pun tidak pernah kesepian dan gundah gulana, serta hati akan terus kokoh.

Kelima: Memperbanyak do’a pada Allah agar diberi keistiqomahan.
Di antara sifat orang beriman adalah selalu memohon dan berdo’a kepada Allah agar diberi keteguhan di atas kebenaran. Dalam Al Qur’an Allah Ta’ala memuji orang-orang yang beriman yang selalu berdo’a kepada-Nya untuk meminta keteguhan iman ketika menghadapi ujian. Allah Ta’ala berfirman, “Dan berapa banyaknya nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertaqwa. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang sabar. Tidak ada do’a mereka selain ucapan: ‘Ya Rabb kami, ampunilah dosa-dosa kami dan tindakan-tindakan kami yang berlebih-lebihan dalam urusan kami dan teguhkanlah pendirian kami, dan tolonglah kami terhadap kaum yang kafir‘. Karena itu Allah memberikan kepada mereka pahala di dunia dan pahala yang baik di akhirat. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan” (QS. Ali ‘Imran: 146-148).

Dalam ayat lain Allah Ta’ala berfirman, “Ya Rabb kami, limpahkanlah kesabaran atas diri kami, dan teguhkanlah pendirian kami dan tolonglah kami terhadap orang-orang kafir.” (QS. Al Baqarah: 250)
Do’a lain agar mendapatkan keteguhan dan ketegaran di atas jalan yang lurus adalah, "Ya Rabb kami, janganlah Engkau jadikan hati kami condong kepada kesesatan sesudah Engkau beri petunjuk kepada kami, dan karuniakanlah kepada kami rahmat dari sisi Engkau; karena sesungguhnya Engkau-lah Maha Pemberi (karunia).” (QS. Ali Imron: 8)
Do’a yang paling sering Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam panjatkan adalah,“Ya muqollibal qulub tsabbit qolbi ‘alaa diinik (Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu).”

Keenam: Bergaul dengan orang-orang sholih.
Allah menyatakan dalam Al Qur’an bahwa salah satu sebab utama yang membantu menguatkan iman para shahabat Nabi adalah keberadaan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah-tengah mereka. Allah Ta’ala berfirman, “Bagaimana mungkin (tidak mungkin) kalian menjadi kafir, sedangkan ayat-ayat Allah dibacakan kepada kalian, dan Rasul-Nyapun berada ditengah-tengah kalian? Dan barangsiapa yang berpegang teguh kepada (agama) Allah maka sesungguhnya dia telah diberi petunjuk kepada jalan yang lurus.” (QS. Ali ‘Imran: 101)

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengajarkan kepada kita agar bersahabat dengan orang yang dapat memberikan kebaikan dan sering menasehati kita. “Seseorang yang duduk (berteman) dengan orang sholih dan orang yang jelek adalah bagaikan berteman dengan pemilik minyak misk dan pandai besi. Jika engkau tidak dihadiahkan minyak misk olehnya, engkau bisa membeli darinya atau minimal dapat baunya. Adapun berteman dengan pandai besi, jika engkau tidak mendapati badan atau pakaianmu hangus terbakar, minimal engkau dapat baunya yang tidak enak.”

Kalau dalam masalah persahabatan yang tidak bertemu setiap saat, kita dituntunkan untuk mencari teman yang baik, apalagi dengan mencari pendamping hidup yaitu suami atau istri. Pasangan suami istri tentu saja akan menjalani hubungan bukan hanya sesaat. Bahkan suami atau istri akan menjadi teman ketika tidur. Sudah sepantasnya, kita berusaha mencari pasangan yang sholih atau sholihah. Kiat ini juga akan membuat kita semakin teguh dalam menjalani agama.
Demikian beberapa kiat mengenai istiqomah. Semoga Allah senantiasa meneguhkan kita di atas ajaran agama yang hanif (lurus) ini. Wahai Dzat yang Maha Membolak-balikkan hati, teguhkanlah hati kami di atas agama-Mu.
Sumber: www.muslim.or.id
www.myland59.blogspot.com

Minggu, 01 Januari 2012

Niat Baik Semata Tidaklah Cukup

Semua pelaku bid’ah mengaku berniat baik dalam melakukan bid’ahnya

Sungguh telah benar apa yang telah dikabarkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam,

بَدَأَ الإِسْلاَمُ غَرِيْبًا وَسَيَعُوْدُ غَرِيْبًا كَمَا بَدَأَ

((Islam ini muncul dalam keadaan asing dan akan kembali asing sebagaimana awal kemunculannya)).

Bid’ah telah tersebar dan merajalela di mana-mana bahkan telah mengakar dalam kehidupan kaum muslimin hingga orang awam menganggapnya merupakan syari’at Islam yang tegak dan apa saja yang menyelisihinya adalah kebatilan. Adapun orang yang berpegang teguh dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka akan dianggap oleh mereka telah keluar dari sunnah dan telah membawa bid’ah (perkara yang baru).

Pembahasan bid’ah merupakan pembahasan yang sangat penting karena semua penyimpangan dan kesesatan yang bermunculan dalam kelompok-kelompok sesat asal muasalnya adalah karena bid’ah yang telah mereka lakukan yang menyelisihi apa yang telah dijalani oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya, baik penyimpangan tersebut dalam masalah aqidah (keyakinan) maupun dalam perkara amalan.

Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِنَّهُ مَنْ يَعِشْ مِنْكُمْ بَعْدِي فَسَيَرَى اخْتِلاَفًا كَثِيْرًا فَعَلَيْكُمْ بِسُنَّتِي وَسُنَّةِ الْخُلَفَاءِ الْمَهْدِيِّيْنَ الرَّاشِدِيْنَ تَمَسَّكُوْا بِهَا وَعَضُّوا عَلَيْهَا بِالنَّوَاجِذِ وَإِيَّاكُمْ وَمُحْدَثَاتِ الأُمُوْرِ فَإِنَّ كُلَّ مُحْدَثَةٍ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلاَلَةٌ

((…karena seseungguhnya barang siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku maka dia akan melihat perselisihan yang banyak. Maka wajib bagi kalian untuk berpegang teguh dengan sunnah-sunnahku dan sunnah para Khulafaur Rasyidin yang mendapat petunjuk. Gigitlah sunnah-sunnah tersebut dengan geraham kalian. Dan hati-hatilah kalian terhadap perkara-perkara yang baru karena setiap bid’ah adalah kesesatan)) (HR Abu Dawud 4/200 no 4607 dan adalah lafal Abu dawud, Al-Hakim 1/174 dan beliau berkata, “Ini adalah hadits yang shahih yang tidak ada ‘illahnya”, Ibnu Hibban 1/180).



Cukuplah kenyataan yang kita saksikan sekarang ini dalam dunia Islam menjadi bukti besarnya bahaya bid’ah. Betapa banyak kelompok sesat yang ada di dunia Islam. Ada Al-Qur’aniun (kelompok yang menolak seluruh hadits-hadits Nabi), Ahmadiah (golongan yang mengaku ada Nabi baru), Mu’tazilah (yang menolak hadits-hadits ahad, bahkan menolak hadits-hadits mutawatir seperti hadits-hadits yang menerangkan tentang adanya adzab qubur), Jema’ah-jema’ah takfir yang jumlahnya sangat banyak (yaitu jema’ah-jema’ah yang mengkafirkan orang-orang yang berada diluar golongannya karena tidak berbai’at kepada imam mereka), kelompok tharekat-tharekat sufiah yang sesat yang jumlahnyapun sangat banyak (yang beribadah atau berdzikir dengan cara-cara yang khusus, setiap tharekat caranya berbeda dengan taharekat yang lain), kelompok yang menganggap diri mereka telah sampai pada derajat hakekat sehingga boleh meninggalkan syari’at sehingga tidak perlu sholat lagi, Syi’ah yang menghalalkan nikah kontrak (walaupun hanya satu jam saja pernikahannya setelah itu langsung cerai yang tidak lain ini adalah perzinahan) dan mengkafirkan sebagian besar para sahabat (termasuk Abu Bakar Umar yang telah dijamin masuk surga), Wihdatul wujuud (yang menyakini bahwa Allah menitis pada makhluknya), Jahmiyyah (yang meyakini bahwa Allah tidak memiliki sifat) dan masih banyak sekali kelompok-kelompok yang lain.

Yang anehnya setiap kelompok merasa diri merekalah yang paling benar. Tidaklah kesesatan mereka timbul kecuali karena bid’ah yang mereka ada-adakan. Setiap kelompok punya bid’ah khusus yang tidak terdapat pada kelompok yang lain. Dan kelompok-kelompok tersebut jika ditanya tentang niat mereka dalam melakukan bid’ah maka semuanya akan menyatakan niat mereka adalah baik dalam rangka untuk membenahi cara beragama kaum muslimin.

- Jika Jahmiyyah ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak memiliki sifat, Allah tidak berilmu, Allah tidak maha mendengar?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik, kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena melihat, berilmu, dan mendengar merupakan sifat-sifat makhluk.

- Jika mu’tazilah ditanya : Kenapa kalian juga menolak sifat, bahkan kalian mengatakan bahwa Allah tidak bisa dilihat baik di dunia maupun di akhirat?, maka mereka akan berkata : Niat kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat jismiyah, karena sesuatu yang bisa dilihat pasti dilihat dari suatu arah, dan sesuatu yang ada di suatu arah pasti berjism

- Jika Asyaa’iroh mutaakhirin ditanya : Kenapa kalian menyatakan bahwa Allah tidak di atas dan tidak di bawah, tidak di dalam alam dan tidak di luar alam?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik, karena kami ingin mensucikan Allah dari sifat-sifat makhluk, karena yang berada di atas adalah makhluk yang berjism, demikian juga yang di bawah.

- Jika Syi’ah ditanya : Kenapa kalian menyayat tubuh kalian hingga berdarah tatkala memperingati hari Asyuuroo?, maka mereka akan menjawab : Niat kami baik untuk ikut merasakan kesedihan dan kepedihan yang dirasakan oleh Imam Al-Husain yang terbunuh tatkala hari asyuuroo.

Seluruh pelaku bid’ah berniat baik tatkala melakukan bid’ahnya.

Namun perkaranya sebagaimana perkataan Ibnu Mas’uud radhiallahu ‘anhu :

وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيْبَهُ

“Betapa banyak orang yang menginginkan kebaikan akan tetapi tidak meraihnya”


Niat baik??, tidak cukup!!!

Suatu amalan tidak bisa dikatakan bahwa amalan tersebut merupakan amalan yang sholeh dan diterima oleh Allah kecuali jika memanuhi dua persyaratan. Harus dibangun diatas niat yang ikhlas dan harus sesuai dengan syari’at Rasulullah. Jika salah satu dari dua perkara ini tidak ada maka amalan tersebut tidak akan diterima di sisi Allah walaupun nampaknya seperti amalan sholeh.

Ibadah membutuhkan keikhlasan (pemurnian niat) karena sesungguhnya ibadah hanyalah ditujukan kepada Allah. Barangsiapa yang beribadah kepada Allah dan juga beribadah kepada selain Allah berarti dia tidak memurnikan niatnya. Demikian juga ibadah membutuhkan pemurnian dalam mencontohi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Tidaklah ada satu ibadahpun kecuali harus sesuai dengan contoh yang diberikan oleh Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang ibadahnya tidak berdasarkan contoh yang diberikan Rasulullah berarti ia tidak memurnikan teladan kepada Rasulullah. Inilah konsekuensi dari syahadatain yang merupakan pondasi setiap muslim.

Syahadat yang pertama “Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita menyembah (menyerahkan ibadah kita) kepada selain Allah.

Allah berfirman:

﴿وَمَا أُمِرُوا إِلَّا لِيَعْبُدُوا اللَّهَ مُخْلِصِينَ لَهُ الدِّينَ حُنَفَاءَ﴾ (البينة: من الآية5)

“Padahal mereka tidak disuruh, kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus”

Syahadat yang kedua “Dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusan Allah”, konsekuensinya tidak boleh kita mengambil syariat kecuali dari syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam. Barangsiapa yang membuat syari’at baru yang tidak dicontohkan oleh Rasulullah maka berarti dia tidak memurnikan syahadatnya kepada Rasulullah dan syari’at barunya itu tertolak dan tidak diterima oleh Allah meskipun niatnya baik, bahkan ia berhak mendapatkan dosa. Oleh karena itu Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:



مَنْ أَحْدَثَ فِي أَمْرِنَا هَذَا مَا لَيْسَ مِنْهُ فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang membuat perkara baru dalam agama maka akan tertolak” (HR Al-Bukhari no 2697 dan Muslim no 1718)

مَنْ عَمِلَ عَمَلاً لَيْسَ عَلَيْهِ أَمْرُنا فَهُوَ رَدٌّ

“Barangsiapa yang mengerjakan suatu amalan yang tidak diperintahkan oleh kami maka amalan tersebut tertolak” (HR Muslim no 1718)



Berikut ini beberapa bukti bahwa niat yang baik saja tidak cukup untuk menjadikan suatu amalan adalah amalan sholeh yang diterima di sisi Allah.

Contoh yang pertama

عَنِ الْبَرَاء بْنِ عَازِبٍ قَالَ : خَطَبَنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَوْمَ النَّحْرِ بَعْدَ الصَّلاَةِ فَقَالَ : مَنْ صَلَّى صَلاَتَنَا وَنَسَكَ نُسُكَنَا فَقَدْ أَصَابَ النُّسُكَ وَمَنْ نَسَكَ قَبْلَ الصَّلاَةِ فَتِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ (وفي رواية:فَلْيَذْبَحْ أُخرى مَكَانَهَا).

فقام أبو بردة بن نِيَارٍ فقال : يا رسولَ الله واللهِ لَقَدْ نَسَكْتُ قبلَ أنْ أَخْرُجَ إلى الصَّلاةِ وَعَرَفْتُ أن اليومَ يومُ أكلٍ وشُرْبٍ فَتَعَجَّلْتُ وأكلتُ وأطعمتُ أهْلِي وَجِيْرَانِي، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : تِلْكَ شَاةُ لَحْمٍ

Dari Al-Baro’ bin ‘Azib, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkhutbah kepada kami pada waktu hari ‘iedul adha, lalu ia berkata, “Barangsiapa yang sholat ‘ied kemudian menyembelih hewan kurban maka dia telah benar dan barangsiapa yang menyembelih sebelum sholat ‘ied maka sembelihannya hanyalah sembelihan biasa (bukan sembelihan kurban) (Dalam riwayat yang lain (HR Al-Bukhari no 985) “Maka hendaknya ia menyembelih sembelihan yang lain sebagai gantinya!)”. Abu Burdah bin Niyaar berdiri dan berkata, “Ya Rasulullah, demi Allah aku telah menyembelih sembelihanku sebelum aku keluar untuk shalat ‘Ied, dan aku mengetahui bahwasanya hari ini adalah hari makan minum maka akupun bersegera (menyembelihnya) lalu memakannya dan aku memberi makanan kepada keluargaku dan para tetanggaku”. Maka Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Daging sembelihanmu itu hanyalah daging biasa (bukan daging kurban)”( HR Al-Bukhari no 983)



Dalam riwayat yang lain Abu Burdah berkata, وَ أَحببْتُ أن تَكون شَاتِي أولَ مَا يُذْبَح فِي بيتِي “Aku ingin agar kambingku adalah kambing yang pertama kali disembelih di rumahku” (HR Al-Bukhari no 955)

Dalam riwayat yang lain (HR Muslim 3/1552) Abu Burdah berkata, وَإنِّي عَجَّلْتُ نَسِيْكَتِي لِأُطْعِمَ أهلي وجيراني وأهلَ دَاري “Ya Rasulullah, aku bersegera memotong sembelihanku untuk memberi makan keluargaku, para tetanggaku, dan para familiku!”

Berkata Ibnu Hajar, “Syaikh Abu Muhammad bin Abi Hamzah berkata, “Hadits ini menunjukan bahwa suatu amalan meskipun dibangun di atas niat yang baik namun jika tidak sesuai dengan syari’at maka tidak sah”” (Fathul Bari 10/22, syarh hadits no 5557)

Lihatlah bagaimana niat baik Abu Burdah tidak menjadikan sembelihan kurbannya diterima padahal ia melakukannya bukan karena sengaja melanggar syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, namun ia melakukannya karena tidak tahu akan hal itu. Padahal kalau kita renungkan bisa jadi ide Abu Burdah tersebut merupakan ide yang sangat cemerlang, apalagi di zaman kita sekarang ini yang terkadang sholat ‘iednya lama, kalau para jama’ah pulang dari sholat dalam keadaan lapar dan hewan sembelihan kurban telah siap dihidangkan (karena telah disembelih sebelum sholat ‘ied) maka sungguh baik. Namun ide yang cemerlang ini melanggar syari’at Nabi dan meskipun disertai dengan niat yang baik tidak bisa menjadikan amalan tersebut diterima.


Contoh yang kedua



عن أنس قال : لَمْ يَكُنْ شَخْصٌ أَحَبّ إِليهم مِنْ رسولِ الله صَلَّى اللهُ عليه وَسَلَّم قال وَكَانُوا إِذَا رَأَوْهُ لَمْ يَقُوْمُوا لِمَا يَعْلَمُوْنَ مِنْ كَرَاهِيَتِهِ لَذَلِكَ

Anas bin Malik berkata, “Tidak seorangpun di dunia ini yang lebih mereka (para sahabat) cintai melebihi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, namun jika mereka melihat Rasulullah mereka tidak berdiri karena mengetahui bahwa Rasulullah membenci akan hal itu” (HR At-Thirmidzi no 2763, Ibnu Abi Syaibah dalam musonnafnya (5/234), dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah (1/698))



Berkata Imam An-Nawawi, “…Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam khawatir akan menimpa para sahabat fitnah jika mereka terlalu berlebih-lebihan dalam mengagungkan dirinya, maka beliau membenci jika para sahabat berdiri dikarenakan akan hal ini sebagaimana sabda beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam : لا تُطْرُوْنِي “Janganlah kalian terlalu berlebih-lebihan kepadaku…” (Fathul Bari 11/64, syarh hdits no 6262)

Setiap kita mengetahui bahwa sifat dasar manusia adalah ingin dihargai dan dihormati. Oleh karena itu banyak orang yang senang jika tatkala ia masuk dalam ruangan kemudian para hadirin yang tadinya dudukpun berdiri menghormatinya. Bahkan hal ini dipraktekan dalam lembaga-lembaga perkantoran, hingga dilingkungan pendidikan. Bahkan tak jarang seorang guru marah jika ia masuk ke dalam kelas kemudian murid-muridnya tidak berdiri menghormatinya. Oleh karena itu merupakan ide yang cemerlang jika datang seseorang yang terhormat lantas kita berdiri untuk menghormatinya, tentunya ia akan merasa senang. Demikian juga hal ini terlintas di benak para sahabat untuk berdiri menghormati Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam jika ia datang. Namun ide yang cemerlang ini mereka timbang dengan sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Ternyata sunnah Nabi menunjukan bahwa Nabi tidak suka akan hal itu, maka para sahabatpun tidak mempraktekannya.

Contoh yang ketiga

جاء ثلاثة رهط إلى بيوت أزواج النبي صلى الله عليه وسلم يسألون (وفي رواية: سألوا أزواج النبي صلى الله عليه وسلم عن عمله في السر) عن عبادة النبي صلى الله عليه وسلم فلما أخبروا كأنهم تُقَالُّوْهَا فقالوا وأين نحن من النبي صلى الله عليه وسلم قد غفر الله له ما تقدم من ذنبه وما تأخر قال أحدهم أمَّا أنا فإني أصلي الليل أبدا وقال آخر انا أصوم الدهر ولا أفطر وقال آخر أنا أعتزل النساء فلا أتزوج أبدا فجاء رسول الله صلى الله عليه وسلم فقال أنتم الذين قلتم كذا وكذا أمَا والله إني لأخشاكم لله وأتقاكم له لكني أصوم وأفطر وأصلي وأرقد وأتزوج النساء فمن رغب عن سنتي فليس مني

Dari Anas bin Malik, Ia berkata, :Datang tiga orang ke rumah istri-istri Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam, mereka bertanya tentang ibadah Nabi (Dalam riwayat Muslim: “Mereka bertanya kepada istri-istri Nabi tentang amalan Nabi yang tidak terang-terangan). Tatkala mereka diberitahu tentang ibadah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam seakan-akan mereka merasa bahwa ibadah tersebut sedikit, maka mereka berkata, “Dimanakah kita jika dibanding dengan Nabi?, ia telah dimaafkan dosa-dosanya oleh Allah baik yang telah lalu maupun yang akan datang”. Seorang diantara mereka berkata, “Adapun aku maka aku akan sholat malam selama-lamanya (tidak tidur malam)”, yang lainnya berkata, “Saya akan puasa dahar dan aku tidak akan pernah buka”, dan berkata yang lainnya, “Aku akan menjauhi para wanita, dan aku tidak akan menikah selama-lamanya”. Lalu datanglah Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam dan berkata, “Apakah kalian yang telah berkata demikian dan demikian?, ketahuilah, demi Allah sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah daripada kalian, namun aku berpuasa dan berbuka, aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur, dan aku menikahi para wanita. Barangsiapa yang benci terhadap sunnahku maka dia bukan termasuk dariku” (HR Al-Bukhari no 5063, dalam riwayat Muslim (2/1020) وقال بعضهم لا آكل اللحم وقال بعضهم لا أنام على فراش “Berkata salah seorang dari mereka, “Aku tidak akan memakan daging”, berkata yang lain, “Aku tidak akan tidur di atas tempat tidur” )



Ibnu Hajar berkata “Dan dalam riwayat yang mursal dari Sa’id ibnul Musayyib sebagaimana dikeluarkan oleh Abdurrozaq dalam musonnafnya (6/167) bahwasanya tiga orang tersbut adalah Ali bin Abi Tholib, Abdullah bin ‘Amr bin Al-‘Ash dan Utsman bin Madz’un” (Fathul Bari 9/132)

Kalau kita perhatikan mereka tiga orang tersebut menghendaki kebaikan, bahkan sama sekali mereka tidak menghendaki keburukan. Apakah perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan menjauhi para wanita” karena ia lemah syahwat??, tentu tidak, namun tidak lain adalah untuk beribadah kepada Allah. Perkataan salah seorang dari mereka “Saya akan sholat malam selama-lamanya” menunjukan ia akan sungguh-sungguh bermujahadah melawan hawa nafsunya demi beribadah sujud kepada Allah. Mereka memandang bahwa kehidupan dunia ini fana lalu merekapun mengedepankan hak Allah dari pada kesenangan kehidupan duniawi. Tatkala mereka mengetahui ibadah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam yang telah dimaafkan dosa-dosa beliau baik yang telah lampau maupun yang akan datang, maka mereka berkesimpulan bahwa ibadah mereka harus lebih banyak dari apa yang telah diamalkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam karena tidak ada jaminan ampunan dosa-dosa mereka yang telah lampau apalagi dosa-dosa yang akan datang. Mereka beranggapan bahwa barangsiapa yang tidak dijamin ampunan dosa-dosanya maka harus berlebih-lebihan dalam beribadah dengan harapan memperoleh ampunan Allah dengan ibadah yang berlebih-lebihan tersebut. (Lihat penjelasan Ibnu Hajar dalam Al-Fath 9/132). Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam membantah persangkaan mereka dengan berkata إني لأخشاكم لله وأتقاكم له “Sesungguhnya aku adalah orang yang paling takut dan paling bertakwa kepada Allah dibanding kalian” untuk menjelaskan bahwa bukan merupakan suatu kelaziman bahwa orang yang lebih takut kepada Allah (karena belum jelas jaminan ampunan dosa) harus berlebih-lebihan dalam beribadah, karena bagaimanapun juga Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam (walaupun telah diampunkan dosa-dosa) beliaulah yang lebih takut kepada Allah dibandingkan mereka, namun beliau shalallahu ‘alaihi wa sallam tidak berlebih-lebihan dalam beribadah. (Lihat Fathul Bari 9/132) Nabi tidak berkata kepada mereka “Bersungguh-sungguhlah, teruskan niat baik kalian semoga Allah memberi taufik kepada kalian dan memudahkan kesungguhan kalian dalam beribadah kepada Allah”, namun Nabi sama sekali tidak memberi kesempatan kepada mereka. Nabi tidak memandang niat baik mereka, karena amal yang hendak mereka lakukan tidak sebagaimana yang dicontohkan Nabi. Bahkan Nabi membantah perkataan mereka satu persatu, beliau berkata “aku berpuasa dan berbuka” untuk membantah perkataan orang yang pertama, “aku sholat (yaitu sholat malam) dan tidur” untuk membantah perkataan orang yang kedua, “dan aku menikahi para wanita” untuk membantah perkataan orang yang ketiga, kemudian Nabi mengakhiri bantahannya dengan perkataannya yang keras “Barangsiapa yang membenci sunnahku maka ia tidak termasuk dariku”

Contoh yang keempat



أَخْبَرَنَا الْحَكَمُ بْنُ الْمُبَارَكِ أَنْبَأَنَا عَمْرُو بْنُ يَحْيَى قَالَ سَمِعْتُ أَبِى يُحَدِّثُ عَنْ أَبِيهِ قَالَ : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مَسْعُودٍ قَبْلَ صَلاَةِ الْغَدَاةِ ، فَإِذَا خَرَجَ مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ ، فَجَاءَنَا أَبُو مُوسَى الأَشْعَرِىُّ فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ بَعْدُ؟ قُلْنَا : لاَ ، فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ ، فَلَمَّا خَرَجَ قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيعاً ، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ إِنِّى رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ آنِفاً أَمْراً أَنْكَرْتُهُ ، وَلَمْ أَرَ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ إِلاَّ خَيْراً. قَالَ : فَمَا هُوَ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ – قَالَ – رَأَيْتُ فِى الْمَسْجِدِ قَوْماً حِلَقاً جُلُوساً يَنْتَظِرُونَ الصَّلاَةَ ، فِى كُلِّ حَلْقَةٍ رَجُلٌ ، وَفِى أَيْدِيهِمْ حَصًى فَيَقُولُ : كَبِّرُوا مِائَةً ، فَيُكَبِّرُونَ مِائَةً ، فَيَقُولُ : هَلِّلُوا مِائَةً ، فَيُهَلِّلُونَ مِائَةً ، وَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِائَةً فَيُسَبِّحُونَ مِائَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئاً انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلاَ أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِهِمْ. ثُمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلْقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ فَقَالَ : مَا هَذَا الَّذِى أَرَاكُمْ تَصْنَعُونَ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًى نَعُدُّ بِهِ التَّكْبِيرَ وَالتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لاَ يَضِيعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَىْءٌ ، وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَسْرَعَ هَلَكَتَكُمْ ، هَؤُلاَءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ -صلى الله عليه وسلم- مُتَوَافِرُونَ وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ ، وَالَّذِى نَفْسِى فِى يَدِهِ إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِىَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ ، أَوْ مُفْتَتِحوا بَابِ ضَلاَلَةٍ. قَالُوا : وَاللَّهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ مَا أَرَدْنَا إِلاَّ الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ يُصِيبَهُ ، إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْماً يَقْرَءُونَ الْقُرْآنَ لاَ يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ ، وَايْمُ اللَّهِ مَا أَدْرِى لَعَلَّ أَكْثَرَهُمْ مِنْكُمْ. ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ ، فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلِمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ

Berkata Imam Ad-Darimi dalam sunannya, “Telah mengabarkan kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubarok, ia berkata, “Telah mengabarkan kepada kami Umar bin Yahya”, ia berkata, “Aku mendengar ayahku menyampaikan hadits dari ayahnya”, ia berkata, “Kami duduk di depan pintu rumah Abdullah bin Mas’ud sebelum sholat subuh, jika ia keluar dari rumahnya maka kamipun berjalan bersamanya menuju mesjid. Lalu datang Abu Musa Al-As’ari dan berkata, “Apakah Abu Abdirrohman (yaitu Abdullah bin Mas’ud) telah keluar menemui kalian?”, kami katakan, “Belum”, maka iapun duduk bersama kami hingga keluar Abdullah bin Mas’ud. Tatkala Abdullah bin Mas’ud keluar dari pintunya kamipun semua berdiri menuju kepadanya, lalu Abu Musa berkata kepada Abdullah bin Mas’ud, “Ya Abu Abdirrahman, aku baru saja melihat suatu perkara yang aku ingkari di mesjid, namun menurutku –alhamdulillah- adalah perkara yang baik”. Abdullah berkata, “Perkara apakah itu?”, Abu Musa berkata, “Jika engkau panjang umur maka engkau akan melihatnya, aku telah melihat di mesjid sekelompok manusia yang duduk berhalaqoh-halaqoh menunggu sholat. Di setiap halaqoh ada seorang (yang memimpin mereka) dan ditangan mereka ada kerikil-kerikil. Maka orang ini berkata, “Bertakbirlah seratus kali!” maka merekapun bertakbir seratus kali. Ia berkata, “Bertahlillah seratus kali!” maka merekapun bertahlil seratus kali. Ia berkata, “Bertasbihlah seratus kali!” maka merekapun bertasbih seratus kali.”. Abdullah berkata, “Apa yang kau katakan kepada mereka?”, Abu Musa berkata, “Aku tidak mengatakan sesuatupun karena menanti pendapatmu atau perintahmu”. Berkata Abdullah, “Kenapa engkau tidak memerintahkan mereka untuk menghitung-hitung kesalahan-kesalahan mereka dan engkau menjamin bahwa kebaikan-kebaikan mereka tidak akan hilang!”. Kemudian berjalanlah Abdullah bin Mas’ud dan kamipun berjalan bersamanya hingga ia mendatangi salah satu dari halaqoh-halaqoh tersebut dan iapun berdiri di hadapan mereka dan berkata, “Apa ini yang sedang kalian lakukan?”, mereka berkata, “Ini adalah kerikil-kerikil yang kami gunakan untuk menghitung takbir, tahlil, dan tasbih”. Abdullahpun berkata, “Hitung saja kesalahan-kesalahan (dosa-dosa) kalian maka aku akan menjamin bahwa tidak ada sedikitpun kebaikan kalian yang hilang. Wahai umat Muhammad sungguh cepat kebinasaan kalian. Para sahabat Nabi kalian masih banyak tersebar, pakaian Nabi kalian masih belum usang dan tempayan-tempayan beliau masih belum pecah. Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”. Mereka berkata, “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Abdullah berkata, “Dan betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak meraihnya. Sesungguhnya Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam telah menyampaikan kepada kami bahwa akan ada suatu kaum yang mereka membaca Al-Qur’an namun tidak melewati kerongkongan mereka (yaitu hanya di mulut dan tidak sampai ke hati-pen), demi Allah aku khawatir kabanyakan mereka adalah kalian”, kemudian Abdullahpun berpaling dari mereka. Berkata ‘Amr bin Salamah, “Saya melihat bahwa kebanyakan mereka yang mengadakan halaqoh-halaqoh tersebut telah membela khowarij melawan kami tatkala perang An-Nahrowan” (HR AD-Darimi 1/69, dishahihkan oleh Syaikh Al-Albani dalam As-Shahihah 5/11)



Perhatikanlah bagaimana kisah ini. Kalau sekilas diperhatikan apa yang mereka lakukan adalah hal yang baik, mereka menunggu sholat sambil berdzikir kepada Allah. Bisa saja seseorang berkata, “Jika seseorang berdzikir sendirian sambil menunggu sholat bisa jadi dia ngantuk, berbeda jika berdzikir dilakukan secara berjamaah dengan satu suara, tentunya menimbulkan semangat dan menghilangkan kebosanan, jadi apa yang mereka lakukan adalah ide yang sangat baik dan cemerlang”. Sebagaiamana perkataan mereka menjelaskan niat mereka melakukan hal ini “Ya Abu Abdirrahman, sesungguhnya yang kami inginkan adalah kebaikan”. Namun ide cemerlang ini tatkala tidak sesuai dengan sunnah maka bukan merupakan syari’at Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam, Kalau ia merupaka syari’at Rasulullah tentunya Rasulullah telah menyampaikannya kepada umatnya, karena merupakan kewajiban bagi Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam untuk menyampaikan semua perkara syari’at, semua kebaikan yang bisa mendekatkan umatnya ke surga dan mengingatkan umatnya dari semua perkara yang bisa mengantarkan mereka ke neraka. Rasulullah shalallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



إِنَّهُ لَمْ يَكُنْ نَبْيٌّ قَبْلِي إِلاَّ كَانَ حَقًّا عَلَيْهِ أَنْ يَدُلَّ أُمَّتَهُ عَلَى خَيْرِ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ وَيُنْذِرُهُمْ شَرَّ مَا يَعْلَمُهُ لَهُمْ

((Sesungguhnya tidak seorang nabipun sebelumku kecuali wajib baginya untuk menunjukan umatnya kepada kebaikan yang ia ketahui bagi mereka dan mengingatkan umatnya dari kejelakan yang ia ketahui)) (HR Muslim 3/1472 no 1844)



Seluruh kebaikan yang diketahui Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam maka wajib baginya untuk menyampaikannya kepada umatnya. Oleh karena itu jika seseorang menganggap bid’ah itu baik maka ia telah menuduh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah berkhianat kepada Allah karena berarti ada syari’at yang diketahui oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam namun tidak ia sampaikan kepada umatnya.

Berkata Imam Malik:

مَنْ أَحْدَثَ فِي هَذِهِ الأُمَّةِ الْيَوْمَ شَيْئًا لَمْ يَكُنْ عَلَيْهِ سَلَفُهَا فَقَدْ زَعَمَ أَنَّ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ خَانَ الرِّسَالَةَ لِأَنَّ اللهَ تَعَالىَ يَقُوْلُ ﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3) فَمَا لَمْ يَكُنْ يَوْمَئِذٍ دِيْنًا لاَ يَكُوْنُ الْيَوْمَ دِيْنًا

“Barangsiapa yang mengada-adakan perkara yang baru di umat ini yang tidak pernah dilakukan oleh orang-orang terdahulu maka dia telah menuduh bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam telah mengkhianati risalah Allah karena Allah telah berfirman :

﴿ الْيَوْمَ أَكْمَلْتُ لَكُمْ دِينَكُمْ وَأَتْمَمْتُ عَلَيْكُمْ نِعْمَتِي وَرَضِيتُ لَكُمُ الْأِسْلامَ دِيناً﴾ (المائدة:3)

“Pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu jadi agamamu”(QS. 5:3)

Maka perkara apa saja yang pada hari itu (pada masa Rasulullah) bukan merupakan perkara agama maka pada hari ini juga bukan merupakan perkara agama.” (Al-Ihkam, karya Ibnu Hazm 6/255)

Kalau hal itu merupakan kebaikan tentu Rasulullah telah mengajarkannya kepada umatnya. Jika hal yang paling sepele saja (seperti adab makan, adab minum, sampai adab buang air) Rasulullah mengajarkannya apalagi hal-hal yang berkaitan dengan ibadah yang sangat agung yaitu berdzikir kepada Allah, tentunya Rasulullah lebih memperhatikannya untuk mengajarkannya kepada ummatnya. Oleh karena itu Abdullah bin Mas’ud mengatakan kepada mereka “Demi Dzat Yang jiwaku berada di tanganNya, sesungguhnya kalian sedang berada pada suatu agama yang lebih baik daripada agamanya Muhammad atau kalian adalah pembuka pintu kesesatan”. Karena perbuatan mereka dengan mengadakan dzikir dengan cara yang khusus (yang tidak pernah dicontohkan oleh Rasulullah) secara tidak langsung menunjukan bahwa apa yang dicontohkan oleh Rasulullah kurang bagus sehingga mereka perlu mengadakan model baru dalam beribadah.

Allah berfirman:

وَقَالَ الَّذِيْنَ كَفَرُوْا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا لَوْ كَانَ خَيْرًا مَا سَبَقُوْنَا إِلَيْهِ

Artinya: “Dan orang-orang kafir berkata kepada orang-orang yang beriman (yaitu para sahabat Nabi): “Kalau sekiranya dia (Al-Quran) adalah suatu kebaikan, tentulah mereka (orang-orang beriman) tiada mendahului kami (untuk beriman) kepadanya”. (Al-Ahqof: 11)

Berkata Ibnu Katsir (tafsir surat Al-Ahqof ayat 11) menafsirkan ayat ini: “Adapun Ahlus Sunnah Wal Jama’ah maka mereka mengomentari setiap perbuatan dan perkataan yang tidak datang dari para sahabat (bahwa perbuatan dan perkataan tersebut) adalah bid’ah, karena kalau seandainya perkataan dan perbuatan tersebut baik tentunya mereka (para sahabat) telah mendahului kita untuk melakukannya sebab mereka tidaklah meninggalkan satupun kebaikan kecuali mereka bersegera untuk melakukannya”


Renungan…

Kita ketahui bersama bahwa sholat berjama’ah adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Kita juga tahu bahwa sholat tahiyyatul masjid adalah perkara yang baik dan dianjurkan. Seandainya sekarang sekelompok orang setiap masuk masjid mereka melaksanakan sholat tahiyyatul masjid secara berjamaah apakah merupakan perkara yang baik??, tentu akan ada banyak orang yang mengingkari perbuatan mereka, karena perbuatan mereka itu sama sekali tidak pernah dilakukan oleh siapapun sebelum mereka, dan mereka telah terjatuh dalam bid’ah (walaupun mereka memandang apa yang mereka lakukan itu merupakan kebaikan).

Seandainya ada orang yang melaksanakan umroh kemudian mereka setiap sekali putaran thowaf ia sholat, apakah perbuatannya itu baik?? Tentu tidak, ia akan diingkari oleh semua orang karena perbuatannya itu tidak ada contohnya (walaupun sholat adalah perkara yang baik). Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita mengatakan bahwa Rasulullah tidak pernah mencontohkan tata cara demikian.

Demikian juga seandainya jika seeorang yang sa’i antara sofa dan marwah kemudian setiap ia sampai di safa atau di marwa ia sholat sunnah karena bersyukur kepada Allah, apakah perbuatannya itu baik?? Tidak ada jalan lain bagi kita untuk melarangnya kecuali kita katakan kepadanya bahwa Rasulullah tidak pernah melakukan tata cara demikian.

Atau jika ada seseorang yang setiap mau keluar dari mesjid ia berhenti sebentar dipintu mesjid untuk membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan An-Naas dengat niat meminta perlindungan kepada Allah dari gangguan syaitan karena banyak syaithon berkeliaran di luar mesjid. Maka jelas ini adalah perbuatan bid’ah walaupun sepintas apa yang di lakukannya itu sangat baik. Dan kita tidak bisa mengingkarinya karena ia akan berdalil dengan dalil-dalil yang menjelaskan fadilah dan keutamaan membaca ayat kursi, surat Al-Falaq dan surat An-Naas. Kita tidak bisa mengingkarinya kecuali dengan mengatakan bahwa apa yang engkau lakukan tidak pernah dicontohkan oleh Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya.



عن سعيد بن المسيب أَنَّهُ رَأَى رَجُلاً يُصَلِّي بَعْدَ طُلُوْعِ الْفَجْرِ أَكْثَرَ مِنْ رَكْعَتَيْنِ يُكْثِرُ فِيْهَا الرُّكُوْعَ وَالسُّجُوْدَ فَنَهَاهُ فَقَالَ : ياَ أَبَا مُحَمَّدٍ يُعَذِّبُنِي اللهُ عَلَى الصَّلاَةِ؟ قَالَ : لاَ وَلَكِنْ يُعَذِّبُكَ عَلَى خِلاَفِ السُّنَّةِ

Dari Sa’id bin Al-Musayyib (yang merupakan seorang tabi’in -generasi setelah generasi sahabat- yang tersohor dengan ketakwaan dan kefaqihannya dalam perkara-perkara agama-pen) dia melihat seseorang setelah terbit fajar (setelah adzan subuh) sholat lebih dari dua rakaat, ia memperbanyak rukuk dan sujud dalam sholatnya tersebut. Maka Said bin Al-Musayyibpun melarangnya, orang itu berkata kepada Sa’id bin Al-Musayyib, “Wahai Abu Muhammad, apakah Allah akan mengadzabku karena aku sholat?”, Sa’id menjawab, “Tidak, tetapi Allah mengadzabmu karena engkau menyelisihi sunnah” (Dirwiayatkan oleh Al-Baihaqi dalam As-Sunan Al-Kubro (2/466) dan Abdurrozaq dalam musonnaf beliau (3/52))



Larangan Sa’id bin Al-Musayyib kepada orang itu karena tidak dikenal ada sholat sunnah antara adzan subuh dan iqomat kecuali dua rakaat sebelum sholat subuh. Oleh karena itu jika ada seseorang sholat dengan rakaat yang banyak sekali sebelum sholat subuh maka ia telah melanggar sunnah Nabi shalallahu ‘alaihi wa sallam. Wallahu a’lam bis sowab.

Madinah, 20 Dzul Hijjah 1431 / 26 November 2010

Abu ‘Abdilmuhsin Firanda Andirja
www.myland59.blogspot.com