Jumat, 14 Juni 2013

Ganti Hati Dahlan Iskhan ..


Pak saya mohon izin nyimpan kisah bpk ini di blog saya,karena saya senang dg kisah yang luar biasa ini

1. Harus Turun Mesin, karena Organ-Organ Saya Rusak Parah
Posted on October 25, 2011 by gantihati


Pagi ini, hari ke-20 saya hidup dengan liver baru. Kelihatannya akan baik-baik saja. Tidak ada tanda-tanda kegagalan seperti yang dialami Cak Nur (Nurcholish Madjid, tokoh yang digadang-gadang menjadi salah satu calon presiden), yang menjalani transplantasi liver di Tiongkok pada 19 Juli 2004.

Kadar protein dalam darah saya yang tidak pernah bisa normal, kini menjadi sangat baik. Salah satu unsur penting di protein itu, albumin, sejak liver saya diganti sudah mencapai angka 3,6. Selama lebih dari 10 tahun saya hidup dengan kadar albumin yang hanya 2,7. Padahal, normalnya paling tidak 3,2.

Rendahnya kadar albumin membuat tubuh saya tak mampu membuang kelebihan air, baik dalam bentuk keringat maupun kencing. Sehingga air yang berlebih ikut darah beredar ke seluruh tubuh. Akibatnya, tubuh saya jadi “gemuk”.

Karena itu, kalau ada orang memuji badan saya terlihat lebih gemuk dan segar, dalam hati sebenarnya saya menderita. Sebab, saya tahu, tubuh saya tidak sedang gemuk, tapi bengkak!

Begitu liver diganti dan albumin normal, badan saya langsung susut. Tapi tidak kuyu, melainkan sebaliknya: lebih segar.

Dua hari pertama pascatransplantasi, kencing saya bisa mencapai 10 liter sehari. Sebagian karena memang banyak cairan yang masuk ke badan, sebagian lagi karena air yang tadinya beredar bersama darah, sudah bisa dipisahkan oleh albumin dan dikirim ke kandung kemih.

Platelet atau trombosit saya, yang seharusnya minimal 200, pernah tinggal 55. Dengan platelet serendah itu, saya terancam mengalami perdarahan dari mana pun: mulut, hidung, lubang kemaluan, telinga, dan mata.

Untuk menyelamatkan saya dari ancaman itu, dokter lantas memotong limpa saya hingga sepertiga. Setelah limpa dipotong, platelet saya naik sampai 120. Sayangnya, itu tidak lama. Perlahan-lahan angka itu menurun secara konstan. Terakhir tinggal 70. Hampir sama dengan sebelum limpa saya dipotong.

Tapi, setelah liver saya diganti, platelet saya langsung naik. Tiga hari lalu angkanya sudah mencapai 260. Normalnya, antara 200 sampai 300.

Mengapa saya memutuskan ganti liver? Tidakkah takut gagal? Mengapa liver saya sakit? Separah apa? Bagaimana jalannya penggantian liver? Bagaimana mempersiapkan diri? Bahkan sampai ke doa apa yang saya ucapkan? Semua akan saya tulis untuk berbagi pengalaman dengan pembaca.

Cerita ini mungkin akan agak panjang (bisa 50 hari). Bukan karena saya mau berpanjang-panjang, tapi karena redaksi membatasi saya untuk menulis hanya sekitar 1.000 kata di setiap seri.

Berikut saya mulai dengan seri pertama ini. (Nama-nama dokter, rumah sakit, sengaja baru akan disebutkan di bagian-bagian akhir tulisan):

***

Di umur 55 tahun ternyata saya harus “turun mesin”. Begitu parahnya kerusakan organ-organ di dalam badan saya sampai harus pada keputusan menambal seluruh saluran pencernaan saya, memotong sepertiga limpa saya, dan mengganti sama sekali organ terbesar yang dimiliki manusia: liver.

Turun mesin total itu harus diatur sedemikian rupa karena mesin yang sama harus tetap menjalankan tugas sehari-hari, yang tidak bisa ditinggalkan begitu saja. Maka, saya pun mulai membuat jadwal turun mesin. Dimulai yang paling membahayakan agar yang penting nyawa bisa selamat dulu.

Ternyata saya memang terancam meninggal dunia dari tiga jenis penyakit. Yang pertama adalah yang bisa membuat saya meninggal mendadak kapan saja tanpa penyebab apa pun. Tiba-tiba bisa saja saya muntah darah dan tak tertolong lagi. Ini karena seluruh saluran pencernaan saya, mulai tenggorok sampai perut sudah penuh dengan varises yang menor-menor karena sudah matang dan siap pecah. Ibarat kumpulan balon-balon kecil berwarna merah, yang kulitnya sudah tipis seperti balon yang ditiup terlalu keras. Kapan meletusnya bisa setiap saat. Saat meletus itulah orang akan muntah darah dan tak tertolong lagi.

Penyakit kedua, yang bisa membuat saya meninggal dalam hitungan bulan adalah jumlah darah putih saya yang terus merosot. Mengapa? Karena limpa saya sudah membesar tiga kali lipat dari ukuran normal. Limpa yang tugasnya antara lain mengubur sel-sel darah merah yang mati (dengan darah putih yang diproduksinya), tidak mampu lagi berfungsi baik. Platelet saya yang seharusnya antara 200-300, hari itu tinggal 60. Itu pun dalam posisi terus menurun. Pada penurunan beberapa poin lagi, saya akan menderita perdarahan dari mana saja: bisa dari hidung, dari telinga, dari mulut, atau dari mata. Limpa sendiri bisa juga pecah karena sudah tidak kuat lagi akibat terus membesar.

Yang ketiga, ya liver saya sendiri, yang ternyata sudah amat rusak. Setelah liver saya dibuang setahun kemudian, tampaklah nyata bahwa liver saya sudah seperti daging yang dipanggang terlalu masak. Padahal, seharusnya mulus seperti pipi bayi. Ini yang bisa membuat saya meninggal dunia dalam hitungan dua-tiga tahun. Bahkan, sebenarnya liver itu yang membuat limpa saya membesar dan membuat seluruh saluran darah di sepanjang pencernakan saya penuh dengan balon-balon darah yang siap pecah.

Maka, satu per satu harus saya selesaikan. Saya mulai dari mengatasi agar tidak terjadi muntah darah. Lalu, setengah tahun kemudian memotong limpa saya. Dan, terakhir 6 Agustus lalu, beberapa hari sebelum ulang tahun ke-56 saya, saya lakukan transplantasi liver: membuang liver lama, diganti dengan liver baru.

Semua proses itu memakan waktu hampir dua tahun. Ini karena saya tetap harus menjalankan aktivitas, baik sebagai pimpinan Grup Jawa Pos maupun sebagai CEO perusahaan daerah Jatim yang lagi giat-giatnya membangun tiga proyek besar: pabrik conveyor belt, gedung ekspo, dan shorebase.

Semua tahap itu saya jalani dengan keputusan yang mantap, tanpa keraguan sedikit pun mengenai kegagalan hasilnya. Banyak teman yang bertanya mengapa saya bisa tegas membuat keputusan yang begitu membahayakan hidup saya. Saya jawab bahwa percaya sepenuhnya dengan takdir -sesuai dengan tafsir yang saya yakini, yakni mirip dengan uraian buku Saudara Agus Mustofa Takdir Itu Bisa Berubah.

Faktor lain adalah bahwa rupanya, kebiasaan saya membuat keputusan berani, keputusan besar dan keputusan yang cepat di perusahaan ikut memengaruhi keberanian membuat keputusan dengan kualitas yang sama untuk diri sendiri. Lalu, keyakinan bahwa saya mampu me-manage hal-hal yang rumit selama ini, tentu juga akan mampu me-manage kerumitan persoalan yang ternyata ada di dalam tubuh saya.

Apakah tidak ada kekhawatiran sama sekali akan gagal dan kemudian meninggal? Tentu ada. Tapi, amat kecil. Saya tahu kapan harus ngotot dan kapan harus sumeleh. Keluarga saya yang miskin dan menganut tasawuf Syathariyah sudah mengajarkan sejak awal tentang sangkan paraning dumadi (dari mana dan akan ke mana hidup dan semua kejadian). Ini membuat saya akan ngotot melakukan apa pun untuk berhasil, tapi juga tahu batas kapan harus berakhir.

Tentu ada penyebab lain: Banyak keluarga saya mati muda, sehingga saya pun seperti sudah siap sejak kecil bahwa saya juga akan mati muda. Ibu saya meninggal dalam usia 36 tahun (muntah darah). Kakak saya, yang digelari agennya Nurcholish Madjid di Jatim untuk urusan pembaharuan pemikiran Islam, meninggal dalam usia 32 tahun (muntah darah). Dia sering memarahi saya, mengapa masih kecil sudah belajar filsafat/tasawuf dan mengapa sering pergi ke pondok salaf. Tapi, tahun depannya saya masih tetap ke pondok salaf Kaliwungu, 25 km sebelah barat Semarang.

Paman saya dan pakde saya juga meninggal muda. Penyebabnya juga sama: muntah darah. Muntah darah sebenarnya bukan penyebab, tapi begitulah orang di desa mengatakannya, karena tidak tahu bahwa semua itu berawal dari persoalan liver.

Tapi, ada juga sedikit harapan bahwa saya bisa berumur panjang: Bapak saya meninggal dalam usia 93 tahun. Kakak tertua saya yang amat baik, Khosiyatun, yang juga ketua umum Aisyiah Kaltim, kini berumur hampir 70 tahun dan masih aktif mengajar di SD swasta di Samarinda. Entahlah, saya ikut yang mana.
www.myland59.blogspot.com


Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 1. Harus Turun Mesin, karena Organ-Organ Saya Rusak Parah3. Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek →
2. Tiga Jam Jelang Operasi Masih Ditawari ’Take Over’ Koran
Posted on October 25, 2011 by gantihati
August 27, 2007,

Mudah-mudahan rencana operasi kali ini tidak gagal lagi. Yu Shi Gan Xian Sheng (nama saya di Tiongkok), besok mendapat giliran operasi. Itu kata seorang dokter di rumah sakit ini pada Minggu 5 Agustus 2007 kepada saya. Dia memakai istilah “mudah-mudahan tidak gagal lagi” karena memang sudah beberapa kali saya diberi tahu dapat giliran operasi, tapi selalu tertunda karena liver yang datang tidak cocok untuk mengganti liver saya.


Kali ini kelihatannya cocok. Golongan darahnya sama. Juga sudah dinilai akan memenuhi syarat untuk ditransplantasikan ke saya. Harapan bahwa kali ini tidak gagal lagi kian besar setelah sore harinya, petugas cukur datang ke kamar saya. Dia harus mencukur rambut yang ada di badan saya, sebagai salah satu syarat dilakukannya operasi besar. Tugasnya sore itu ringan sekali karena hanya perlu mencukur rambut di sekitar kemaluan. Saya tidak punya rambut di dada atau di paha.

Saya lalu membayangkan bagaimana dengan pasien yang punya bulu dada lebat dan cepat tumbuh kembali. Misalnya, seperti yang banyak dimiliki pasien dari negara-negara Arab.

Saya juga membayangkan bagaimana kalau bulu dada itu cepat tumbuh, sementara luka akibat sayatan yang panjang di situ belum menyatu kembali. Tapi, bayangan-bayangan saya itu lenyap karena tiba-tiba tukang cukur menyatakan tugasnya sudah selesai. Sebentar dan sederhana sekali tugasnya untuk saya malam itu.

Meski itulah malam menghadapi operasi besar, saya tidak punya kekhawatiran apa-apa. Malam itu saya tidur nyenyak sebagaimana biasa. Tidak punya perasaan galau sedikit pun, meski saya akan menjalani penggantian organ terbesar dalam tubuh seorang manusia. Sore sebelum tidur, saya potong rambut. Pendek sekali, nyaris gundul. Saya ingin agar setelah operasi kelak, kalau mau cuci rambut lebih gampang.

Bangun pagi 6 Agustus 2007, saya bertanya kepada perawat kira-kira operasinya jam berapa. Setidaknya jam berapa harus berangkat ke ruang operasi. Perawat belum bisa menjawab. Memang jadwal transplantasi besar seperti ini tidak gampang dibuat.

Karena itu, saya lantas mandi lebih bersih daripada biasanya. Saya tidak ingin ada kuman yang menempel di badan saya yang akan menjadi penyebab infeksi setelah operasi. Tentu ini kurang masuk akal, karena dalam proses operasi ada prosedur sterilisasi di badan saya. Yakni, seluruh badan saya akan diolesi cairan antiinfeksi yang biasanya berwarna merah kecokelatan itu.

Pagi itu saya sudah tidak boleh makan apa pun. Perut harus kosong sejak malamnya. Namun, sekitar pukul 09.00 perut saya masih harus dibesihkan dari kotoran dengan cara dimasuki cairan bening sekitar seperempat liter melalui pantat. Kurang dari lima menit kemudian saya lari ke toilet karena semua isi perut seperti mau keluar.

Setengah jam kemudian dilakukan lagi hal yang sama. Di toilet saya lihat tak ada lagi benda apa pun yang keluar kecuali air bening yang dimasukkan tadi. Maka saat itu dianggap perut saya sudah bersih. Beberapa sahabat penting saya di Tiongkok datang. Terutama Mr Guo yang sejak 10 tahun lalu mengangkat saya sebagai adik kelima, dan saya mengangkatnya sebagai kakak ketiga. Kakak pertama adalah seorang pensiunan jenderal polisi yang juga tinggal di kota ini.

Pukul 09.30 saya diberi tahu tentang kepastian operasi. “Bapak harus masuk ruang operasi pukul 14.00,” kata seorang perawat. Alhamdulillah, kata saya dalam hati. Kalau tidak, bagaimana dengan rambut yang telanjur dicukur? Apa saya akan minta ditempelkan lagi?

Prioritas saya kemudian adalah menghubungi kantor, kakak saya yang di Samarinda, adik saya yang di Madiun, dan beberapa pemegang saham. “Saya akan operasi jam 14.00 nanti,” tulis saya di sms.

Kepada kakak saya yang di Samarinda, saya bicara langsung melalui telepon. Saya harus hati-hati menjelaskannya. Itu kakak saya yang amat baik hatinya. Dia pernah menyerahkan seluruh gajinya sebagai guru SD untuk biaya sekolah dan hidup saya selama lebih dari lima tahun. Itu sebagai tanggung jawabnya karena dia harus pergi meninggalkan kami tanpa ibu di Magetan untuk pergi ke Kaltim, ikut paman saya. Dia merasa kasihan saya hidup dengan Bapak yang tidak punya penghasilan tetap. Apalagi, masih ada satu adik lagi yang masih kecil. Di Kaltim dia harus mengajar di dua sekolah agar masih punya penghasilan untuk hidupnya sendiri.

“Mbakyu, nanti sore saya harus operasi,” kata saya. “Operasi apa?” tanyanya. Saya tidak berani menjelaskan apa adanya, khawatir mengganggu pikirannya.

“Saya akan operasi, agar tidak sampai terjadi seperti yang mengakibatkan ibu dan Mbak Sofwati meninggal muda,” kata saya.

Mbak Sofwati adalah kakak saya yang meninggal umur 32 tahun setelah muntah darah. Padahal, dia kami jagokan sebagai tokoh keluarga. Orangnya pintar dan karirnya bagus. Saat mahasiswa, dia jadi ketua Korps Himpunan Mahasiswa Islam Wanita Jatim.

“Ya, saya doakan semoga berhasil,” katanya datar. Dia tidak saya beri tahu betapa berisikonya penggantian liver ini.

Dalam waktu sekejap sms pemberitahuan operasi itu rupanya menyebar, sampai ke anak perusahaan. Mulai Aceh sampai Jayapura. Juga beredar di antara teman-teman. Ini saya ketahui dari sms yang segera mengalir ke telepon saya.

Semua mengirimkan doa untuk keberhasilan operasi saya. Bahkan, SMS dari Bambang Sujiyono, seniman Surabaya itu, sangat dramatik. Dia kaget saya kok tiba-tiba memberitahunya akan operasi besar. Dia menangis dalam SMS-nya.

“Allah,” tulisnya, “Selamatkan nyawa rekan saya ini. Kalau perlu, tukar dengan kematian saya.” Bambang memang orang yang sangat humanis. Dia sendiri dalam keadaan sakit jantung.

Saya balas tangisannya itu dengan tegar dan setengah guyon. “Mas Bambang, di rumah sakit ini hampir tiap hari juga dilakukan operasi penggantian jantung,” tulis saya.

“Juga operasi penggantian ginjal dan organ yang lain,” tambah saya. Lalu dia tidak emosional lagi. Dia justru bertanya berat mana transplantasi ginjal dibanding liver. “Transplantasi ginjal itu sekarang sudah dianggap biasa. Liver paling sulit,” jawab saya.

Sekitar pukul 10.30 saya terima sms dari Jakarta. Seorang teman lama menawarkan agar saya membeli tabloidnya yang mengalami kesulitan. Dia bilang, tabloid itu akan sukses kalau di tangan saya. Saya balas sms itu, agar dia menunggu keputusan saya beberapa minggu lagi.

Setengah jam kemudian, teman lama yang lain, juga kirim sms. Isinya: apakah saya berminat mengambil alih koran berbahasa Inggris yang terbit di Jakarta? Saya jawab: saya perlu informasi lebih lengkap, dan dia saya minta kirim email.

Tanpa tahu bahwa saya segera memasuki meja operasi yang bisa memakan waktu 12 jam dan entah apa hasilnya, seorang direksi saya di Jakarta menanyakan lewat sms apakah dokumen tender listrik yang disiapkan sudah saya tanda tangani.

Sesaat sebelum saya berganti baju dengan baju operasi, saya masih sempat membalas sms itu: tidak perlu saya yang tanda tangan. Saya lantas memberi tahu siapa yang bisa menggantikan tanda tangan saya. Lalu petugas pembawa baju operasi saya datang membuka bungkusan sterilnya.


Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 2. Tiga Jam Jelang Operasi Masih Ditawari ’Take Over’ Koran4. Sudah Tiga Jam Dimatikan, Belum Juga Di-”Garap” →
3. Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek
Posted on November 1, 2011 by gantihati
August 28, 2007

PUKUL 12.00 Senin (6/8) siang itu saya sudah diminta melepas baju saya, pertanda waktu operasi sudah akan tiba. Diganti baju kertas biru muda. Kepala saya juga dipasangi topi kertas dengan warna yang sama. Saya pun sudah siap mental segera menuju ruang operasi di lantai 13.


Tapi, SMS masih terus mengalir masuk. Teman-teman Jawa Pos, entah siapa yang punya inisiatif, lagi berkumpul di rumah saya di belakang Graha Pena Surabaya. Mereka akan melakukan sembahyang dan doa bersama. Saya segera menelepon Misbahul Huda, Dirut Percetakan Temprina, yang akan menjadi imam pada acara itu. Saya minta suara teleponnya dibesarkan. Agar, semua yang hadir di rumah saya bisa ikut mendengar kata-kata saya. Setelah telepon siap, saya bertanya kepada yang hadir: apakah ada pertanyaan? “Saya siap menjawab pertanyaan apa pun,” kata saya.

Salah seorang di antaranya bertanya apakah saya dalam kondisi siap. Saya jawab, saya siap sekali. Ada yang bertanya, kira-kira operasinya berlangsung berapa jam? Saya jawab sekitar 12 jam. Memang begitulah yang dikatakan dokter kepada saya, berdasarkan pengalaman mereka.

Ada lagi beberapa pertanyaan dan harapan yang disampaikan dengan penuh suasana prihatin. Untuk membuat agar suasana mereka tidak sedih, saya tutup pembicaraan saya dengan kata-kata, “Sampai jumpa minggu depan.” Maksud saya, kira-kira saya perlu waktu satu minggu untuk bisa bicara lagi dengan teman-teman itu: satu hari operasi (pasti saya tidak bisa bicara), tiga hari di ICU (juga pasti belum bisa bicara), dan dua hari memulihkan badan. Genap satu minggu, saya pikir, saya sudah akan bisa bicara lagi. Setelah tidak ada pertanyaan, telepon saya tutup.

SMS terus mengalir masuk. Dari Madiun menceritakan bahwa keluarga tasawuf sathariyah lagi berkumpul untuk ber-zikir-pidak, yakni mendengungkan kata “hu” bersama-sama sebanyak 99.000 kali. Tentu dengan sistem borongan. Artinya, kalau yang mengucapkan lebih banyak orang, waktu yang diperlukan tidak perlu teralu lama. Dengungan “hu” adalah hasil compression (untuk meminjam istilah software komputer) dari kalimat syahadat. Kalau di-decompression, kata “hu” itu akan menjadi kalimat panjang: aku bersaksi tidak ada Tuhan selain Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah utusam Allah. Mungkin, kalau harus mengucapkan kalimat yang begitu panjang sebanyak 99.000 kali dirasa akan memakan waktu yang lama sekali, sehingga perlu di-compress menjadi satu dengungan “hu” saja. Siapa menyangka bahwa zikir pun sejak dulu sudah di-compress seperti itu.

Tapi, sistem compression zikir seperti inilah yang banyak dikecam aliran tasawuf lain dan terutama oleh kalangan syariah formal. “Kalimat syahadat kok dipadatkan,” kata mereka. Ini seperti juga Bung Karno yang dikecam telah menyelewengkan kemurnian Pancasila yang dia temukan sendiri. Yakni, ketika Bung Karno meng-compress Pancasila yang panjang itu menjadi satu kata yang simpel dan pas: gotong royong.

SMS juga masuk dari teman-teman Kristen dan Katolik. Mereka mengirimkan doa-doa yang saya ketahui diambilkan dari Alkitab. Ibu Eric Samola, istri mendiang Pak Eric Samola, yang dulu punya inisiatif mengambil alih Jawa Pos dari keluarga The Chung Shen, mengirimkan doa paling panjang.

Tokoh Buddha Surabaya juga mengirim SMS dan memberitahukan bahwa hari itu berkumpul lebih 1.000 penganut Buddha di shi mian fo (Buddha empat wajah) di Kenjeran. Mereka akan berdoa terus selama saya dioperasi. Karena itu, dia minta dikabari kalau operasi sudah selesai. Kalau tidak, doanya tentu tidak akan dihentikan. Saya berpesan kepada istri agar jangan lupa memberi tahu mereka nanti. Tempat ibadah itu memang saya yang meresmikan beberapa tahun lalu.

Teman-teman dari penganut aliran kebatinan Sapta Dharma juga mengirim SMS, bahwa siang itu 200-an tokohnya berkumpul di Pujon, Malang. Mereka melakukan doa berdasar kepercayaan mereka untuk keberhasilan operasi saya. Demikian juga penganut aliran Sai Baba, mengirimkan doa panjang yang biasa diucapkan Sai Baba di India sana.

Pukul 14.00 kurang 15 menit, kereta brankar sudah datang dengan beberapa orang yang berbaju biru muda. Itulah petugas ruang operasi. Saya harus segera berbaring di kereta itu. Sebenarnya saya bisa berjalan sendiri ke ruang operasi. Badan saya sangat sehat. Tapi, peraturan tidak membolehkannya.

Saat saya sudah berbaring di kereta, Pak Mustofa, akuntan terkemuka Surabaya, telepon minta bicara. Ternyata, dia lagi makan siang dengan para pengusaha teman saya di Hotel Shangri-La Surabaya. Lalu, saya beri tahu bahwa saya sudah tidak punya waktu bicara. Saya sudah di atas kereta yang siap berangkat ke ruang operasi. Pak Alim Markus, yang rupanya ikut makan siang, memaksa bicara untuk memberi dorongan semangat agar saya kuat memasuki ruang operasi. Alim Markus juga pernah tiba-tiba sakit yang amat membahayakan hidupnya. Tapi, semangatnya untuk sembuh luar biasa. Saya sering mengatakan padanya, semangatnya itulah yang ikut mendorong saya punya semangat yang sama.

Istri saya terus komat-kamit. Rupanya berdoa dengan serius. Anak laki-laki saya sibuk memotret. Saudara angkat saya, Mr Guo dan sahabat karib saya Robert Lai dari Singapura, memegangi tangan saya. Kereta pun didorong keluar dari ruang saya di lantai 11 untuk dibawa ke lift naik ke lantai 13. Ketika melewati kamar pasien dari Jepang, dia terlihat mengepalkan tangan ke arah saya, tanda ikut memberi semangat.

Tak sampai 5 menit saya sudah tiba di lobi lantai 11, di depan lift yang akan membawa saya ke lantai 13. Ada lima lift di situ. Dua lift ukuran normal, tiga lift ukuran besar untuk mengangkut kereta pasien. Lift terbuka, tombol 13 dipencet, panah naik menyala. Zoom! Tibalah saya di lantai 13.

Istri, anak, saudara angkat saya, dan Robert Lai mengantar ke lantai 13, tapi hanya bisa sampai di pintu tertentu. Setelah itu semua harus melepaskan tangan dari tubuh saya. Mata istri saya kelihatan sembap. Juga mata Robert Lai.

Robert Lai adalah orang yang rajin berpesan kepada siapa pun, agar saat mengantar saya ke lantai 13 nanti, jangan ada yang menangis. Juga jangan ada yang mengeluarkan air mata. Tapi, saya lihat dia sendiri ternyata terisak-isak ketika melepas saya untuk dibawa petugas ke tempat yang dia tidak bisa lagi menyertai saya.

Sambil menahan tangis, dia akhirnya berteriak: “jia you!” tiga kali. “Jia” artinya tambah. “You” artinya bensin. Tapi, “jia you” dalam bahasa Mandarin berarti “semangatlah!” .

Lalu pintu ditutup. Saya tidak bisa lagi melihat istri, anak, Saudara Guo, dan Robert Lai. Tinggal saya dan beberapa petugas yang terus mendorong kereta itu ke ruang operasi.

***

Kereta didorong amat cepat. Rupanya saya harus segera tiba di ruang operasi, karena sedikit agak terlambat dari jadwal. Saya amati lorong-lorong apa saja yang dilewati kereta ini. Oh, harus menyeberang ke gedung sebelah, rupanya. Gedung rumah sakit ini memang terdiri atas dua tower, masing-masing berlantai 15. Di lantai 12 sampai 14, ada lorong untuk menyeberang dari gedung kiri ke gedung kanan. Saya akan dioperasi di gedung kanan.

Seluruh lantai 13 adalah ruang operasi. Rumah sakit ini, dalam waktu bersamaan, bisa melakukan 30 operasi penggantian organ. Mulai ganti ginjal, mata, jantung sampai ganti liver seperti saya.

Dalam perjalanan sepanjang lorong-lorong itu saya menyadari bahwa saya tadi belum sempat berdoa. Saya harus berdoa. Saya tidak mau ada kesan bahwa saya sombong kepada Tuhan. Tapi, segera saja saya terlibat perdebatan dengan diri saya sendiri: harus mengajukan permintaan apa kepada Tuhan? Bukankah manusia cenderung minta apa saja kepada Tuhan sehingga terkesan dia sendiri malas berusaha? Saya tidak mau Tuhan mengejek saya sebagai orang yang bisanya hanya berdoa. Saya tidak mau Tuhan mengatakan kepada saya: untuk apa kamu saya beri otak kalau sedikit-sedikit masih juga minta kepada-Ku?

Karena itu, saya memutuskan tidak akan banyak-banyak mengajukan doa. Saya tidak mau serakah. Kalau saya minta-minta terus kepada Tuhan, kapan saya menggunakan pemberian Tuhan yang paling berharga itu: otak? Maka saya putuskan akan berdoa se-simple mungkin.

Tapi, masih ada pertanyaan yang tiba-tiba muncul. Apakah saya harus berdoa dengan biasa saja atau harus sampai menangis? Kalau doa itu saya sampaikan biasa-biasa saja, apakah Tuhan melihat saya sedang serius memintanya? Tapi, kalau harus saya ucapkan sampai menangis dan mengiba-iba, apakah Tuhan tidak akan menilai begini: lihat tuh Dahlan. Kalau sudah dalam posisi sulit saja dia merengek-rengek setengah mati. Tapi, nanti akan lupa kalau sudah dalam keadaan gembira! Saya tidak ingin Tuhan memberikan penilaian seperti itu.

Apalagi, saya juga tahu bahwa sistem file di kerajaan Tuhan tidak membedakan doa yang dikirim secara biasa, secara khusus maupun secara tangis-menangis. Tuhan punya sistem file-Nya sendiri, entah seperti apa.

Waktu terus berjalan. Perdebatan di hati saya belum selesai. Padahal, kereta sudah hampir sampai di ruang operasi. Akhirnya saya putuskan berdoa menurut keyakinan saya. Satu doa yang pendek dan mencerminkan kepribadian saya sendiri: Tuhan, terserah engkau sajalah! Terjadilah yang harus terjadi. Kalau saya harus mati, matikanlah. Kalau saya harus hidup, hidupkanlah! Selesai. Perasaan saya tiba-tiba lega sekali. Plong. Kereta pun tiba di depan ruang operasi.


Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 3. Banyak Yang Doakan Panjang-Panjang, Saya Berdoa Pendek5. Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola →
4. Sudah Tiga Jam Dimatikan, Belum Juga Di-”Garap”
Posted on November 3, 2011 by gantihati
August 29, 2007

Ketika memasuki ruang operasi, saya tertegun. Ruangnya sangat bersih, kinclong (karena didominasi stainless steel), dan modern. Begitu masuk, yang terdengar adalah musik soft-rock berbahasa Mandarin yang lagi digemari anak muda sekarang.


Belakangan saya tahu judul lagu tersebut adalah Mei Fei Se Wu yang artinya “bulu mata menari-nari”, yang dibawakan oleh penyanyi top Hongkong Zheng Xiu Wen. Suara musik itu cukup keras sehingga suasananya ingar-bingar. Rupanya, sambil menunggu kedatangan saya, beberapa petugas muda menyenangi lagu itu. Suasananya pun menjadi seperti di sebuah disko, bukan seperti di sebuah tempat yang menyeramkan.

Mata saya terus beredar dari dinding ke dinding. Dari alat ke alat. Saya ingin tahu apa saja yang ada di ruang itu agar, kalau operasi berhasil, saya bisa menuliskan deskripsinya secara baik.

Dokter belum pada datang, karena memang pada tahap ini semua pekerjaan masih urusan perawat. Beberapa perawat membicarakan saya. “Ini orang asing, kita harus pakai bahasa apa?” ujar salah seorang di antara mereka. “Dia orang Indonesia, tapi bisa berbahasa Mandarin,” jawab yang lain.

Maka saya sela pembicaraan mereka: Ya, saya bisa bahasa Mandarin sedikit-sedikit. Mereka merasa lega, lalu memberikan beberapa perintah mengenai posisi badan saya. Harus bergeser sini dikit dan harus naik sedikit. Lalu, lengan saya diperiksa seperti akan memasang selang. Melihat tangan saya sudah dipasangi selang selama 3 bulan lebih, perawat memutuskan tidak mau pakai itu. Maka, dia minta lengan kanan saya dimasuki jarum untuk memasukkan beberapa zat kimia ke badan saya.

Musik soft-rock masih terus ingar-bingar. Beberapa perawat mengikuti suara musik itu dengan suara mulutnya tanpa kata-kata. Rupanya dia sangat menikmati lagu itu. Perawat yang lain mulai memasukkan cairan tertentu ke lengan saya. Hanya dalam beberapa saat, saya tidak lagi mendengar suara musik itu. Juga tidak mendengar apa-apa lagi. Saya sudah dimatikan untuk persiapan operasi. Saya baru akan dihidupkan lagi, nanti, 18 jam kemudian.

***

Sejak saya masuk ruang operasi pukul 14.00, istri, anak, dan sahabat saya Robert Lai kembali ke kamar saya di lantai 11. Tepatnya kamar 1102. Di kamar ini mereka menantikan perkembangan operasi saya. Perawat akan selalu mengabarkan apa pun yang terjadi di ruang operasi.

Sementara menunggu kabar, Robert yang sudah 11 bulan menemani saya ke mana pun pergi memutuskan untuk membersihkan kamar saya. Rumah sakit ini, terutama gedung baru ini, memang sudah sangat bersih. Tapi, Robert ingin kamar saya lebih bersih lagi. Tidak boleh ada virus atau sumber virus yang akan membahayakan pascaoperasi saya. Sudah diketahui bahwa virus pascaoperasi adalah pembunuh paling utama bagi pasien yang baru melakukan transplantasi organ.

Rumah sakit juga sudah memberi kami buku panduan mengenai bagaimana menjaga agar tidak terkena virus. Buku itu berbahasa Mandarin, lalu kami terjemahkan ke dalam bahasa Inggris agar seluruh keluarga saya memahami isinya. Penerjemahan ini sangat bermanfaat karena banyak sekali pasien dari negara-negara Arab dan Pakistan yang kemudian minta kopinya kepada kami.

Kamar saya di lantai 11 terdiri atas dua ruang. Ada ruang tidur pasien dengan kamar mandi khusus dan ruang pakaian. Lalu, ada satu ruang tamu yang besar di sebelahnya. Di ruang tamu ini ada satu set TV besar, dispenser air mineral, satu set sofa, lemari es besar, dan satu set dapur kering. Di dapur kering ini ada microwave, rice cooker, water boiler, dan keran panas dingin.

Di ruang tamu ini ada kamar mandi dan toiletnya. Istri saya tidur di ruang ini. Yakni, di sebuah kursi yang kalau siang bisa untuk menambah kapasitas sofa, tapi kalau malam bisa dipanjangkan menjadi tempat tidur biasa. Di belakang sofa, ada satu meja makan dari kaca besar untuk makan bersama. Tapi, kami tidak makan di situ. Meja ini saya pakai untuk “kantor dalam pengasingan”. Kami pasang komputer, laptop, printer, dan internet. Saya memang dapat menggunakan internet kecepatan tinggi di ruang saya ini.

Dari kamar inilah saya bisa membaca semua laporan perusahaan, mengirim dan menjawab e-mail, dan tak jarang juga mengadakan rapat. Terutama rapat dengan partner-partner usaha yang dari Tiongkok. Misalnya, saya harus panggil partner yang membangun pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) di Kalimantan untuk mencari jalan agar proyek selesai sesuai dengan jadwal. Sebab, krisis listrik di daerah itu sudah tidak ketulungan.

Di dinding-dinding kamar tamu yang kosong, lantas saya pasangi asesori. Dinding sebelah kanan saya tempeli peta Tiongkok yang besar sehingga mudah bagi saya untuk melihat negara ini secara keseluruhan. Di dinding satunya saya pasang peta Indoensia. Lalu, di belakang meja besar saya pasangi white board. Bukan saja untuk rapat, juga untuk saya pakai belajar bahasa Mandarin.

Sambil menunggu giliran operasi yang tidak menentu waktunya, saya memang memutuskan untuk meneruskan belajar bahasa Mandarin. Sehari empat jam: pagi dua jam, sore dua jam. Saya mendatangkan guru dari IKIP di kota ini. Tiga orang guru secara bergantian mengajari saya bahasa Mandarin.

Saya juga beli proyektor yang saya hubungkan dengan laptop yang software-nya Mandarin. Ini saya pakai untuk latihan menulis cerita dalam bahasa dan tulisan Mandarin. Lalu, dari kursi di sebelah saya, guru saya tinggal melihat sorotan proyektor. Lalu, memberikan koreksi mana yang saya salah dalam menggunakan kata-kata, atau salah memilih huruf.

Sampai sehari sebelum operasi saya masih “masuk kelas”, seperti besok tidak akan terjadi apa-apa. Ada juga sedikit tebersit perasaan, untuk apa ya saya susah-susah belajar begini. Toh, kalau operasi gagal, besok saya sudah tidak akan bisa lagi memanfaatkan hasil belajar saya ini. Malaikat toh akan bertanya kepada saya di akhirat sana dengan (eh, pakai bahasa apa, ya?) bahasa malaikat sendiri.

Tapi, ketika saya berada di ruang operasi, semua peralatan yang ada di kamar ini dibersihkan. Buku-buku, koran-koran, dan kertas-kertas yang selama ini di mana-mana diangkut ke apartemen. Semua kursi dan meja dicuci. Tempat tidur saya lebih-lebih lagi, disterilkan. Lantainya menjadi mengilap. Bersih dan kinclong.

Dua jam setelah operasi bersih-bersih itu, perawat masuk memberikan kabar bahwa sampai menjelang pukul 17.00 itu saya belum dioperasi. “Hah?” gumam Robert seperti tidak percaya. Berarti sudah hampir tiga jam saya di ruang operasi dan sudah dalam keadaan dimatikan, tapi belum juga di-”garap”.

“Livernya baru akan datang sekitar pukul 17.00,” ujar perawat itu.



Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 4. Sudah Tiga Jam Dimatikan, Belum Juga Di-”Garap”6. Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”, tapi Tak Terucap →
5. Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola
Posted on November 4, 2011 by gantihati
August 30, 2007

Setelah diberi tahu bahwa liver yang akan dipasangkan di dalam tubuh saya ternyata baru akan tiba sekitar pukul 17.00, Robert Lai terperangah. “Tiwas kita sudah tegang selama tiga jam. Ternyata belum diapa-apakan,” katanya. Robert lantas menerjemahkan informasi dalam bahasa Mandarin itu kepada istri dan anak saya.”Berarti, baru 10 menit lagi livernya tiba?” tanya istri saya sambil melihat ke jam dinding.


Dia lantas memperhatikan pintu masuk rumah sakit dari lantai 11, dari dalam kamar saya. Istri saya ingin melihat masuknya ambulans yang mungkin membawa liver yang akan dipasangkan ke dalam tubuh saya. Dia punya khayalan, bahwa kalau ada suara “nguing…nguing…” masuk ke rumah sakit, pastilah itu suara ambulans yang membawa liver.

Dari ruang tamu di kamar saya itu, siapa pun memang bisa melihat apa yang terjadi di luar sana. Dinding kamar tersebut terbuat dari kaca. Di seberang kamar itu terlihat gedung pertama rumah sakit yang tingginya 17 lantai. Bangunannya dari luar mirip hotel.

Di atas gedung itu, di bagian tengahnya, terdapat tambahan tiga lantai bulat. Lantai paling atas rata. Di situlah helikopter yang membawa pasien darurat atau helikopter yang membawa liver yang urgen mendarat. Istri saya juga memperhatikan puncak gedung tersebut, siapa tahu livernya dibawa dengan helikopter.

Dari kamar itu juga terlihat simpang susun jalan layang yang melingkar-lingkar di depan rumah sakit. Lalu, terlihat juga pemandangan sungai yang bersih yang dipakai untuk arena mainan anak-anak serta keluarga. Dari kamar tersebut, kalau Sabtu dan Minggu malam, sering bisa melihat pemandangan indah. Yakni, mengudaranya kembang api berjam-jam di berbagai tempat.

Itu pertanda malam tersebut banyak pesta perkawinan. Kalau sudah ada pesta kembang api seperti itu, kami biasanya mematikan lampu kamar, agar warna-warni kembang apinya lebih jelas.

Istri saya kali ini tidak memperhatikan semua itu. Dia lebih memfokuskan perhatian ke bawah, melihat keluar masuknya ambulans di pintu gerbang depan sana. Dia mengira salah satu ambulans yang masuk pada jam-jam itu pastilah yang membawa liver yang akan menggantikan liver saya yang sudah rusak.

Anak lelaki saya, katanya, jam-jam itu sibuk membalas SMS yang masuk. Semua seperti tidak sabar menanyakan perkembangan operasi saya. Tentu mereka tidak diberi tahu bahwa operasinya belum jadi dilaksanakan pada pukul 14.00. Mereka hanya diberi jawaban “Belum ada kabar baru dari kamar operasi”.

Lamanya tidak ada “kabar baru” itu rupanya semakin membuat teman-teman di Indonesia kian tegang. Ketegangan selama menunggu berlangsungnya operasi digambarkan oleh Yoto, Dirut grup anak perusahaan Jawa Pos di Papua, seperti ini: Kami tiap 10 menit SMS ke Mas Azrul (Posko di Tiongkok) atau ke Mbak Nany Wijaya (Posko di Surabaya). Kami seperti sedang mendengarkan siaran langsung sepak bola lewat radio, tapi dalam keadaan musuh selalu mengancam ke gawang kita!

Semua itu saya nilai wajar karena operasi penggantian liver tidaklah gampang. Apalagi, kegagalan transplantasi liver di Tiongkok yang dialami tokoh seperti Nurcholish Madjid mendapat pemberitaan yang sangat besar. Kegagalan tersebut, dan kengeriannya, seperti baru terjadi beberapa minggu lalu.

Kabar pertama dari ruang operasi masuk pukul 22.00. “Kita diminta naik ke lantai 13. Kepada kita akan ditunjukkan sesuatu,” kata Robert kepada istri dan anak saya dalam bahasa Melayu yang agak sulit dimengerti. “Go!” tambahnya.

Maka, Robert, istri, anak, dan saudara angkat Guo naik lift ke lantai 13. Mereka menunggu di depan lift untuk menerima instruksi berikutnya. Tak lama kemudian, pintu lorong tempat saya dimasukkan menuju ruang operasi sore tadi terbuka. Sejumlah dokter membawa barang berdarah dan meletakkannya di lantai. “Ini liver bapak yang sudah kami keluarkan,” kata seorang dokter.

Melihat “barang” tersebut, istri saya langsung lemas dan terduduk. Sesaat kemudian, dia bersujud di dekat seonggok daging berdarah itu. Anak saya memotretnya dari berbagai sudut. “Waktu bersujud itu, Anda mengucapkan doa apa?” tanya saya beberapa hari kemudian. “Doa apa saja yang bisa saya ucapkan,” ungkapnya.

Lalu, dokter menjelaskan bagaimana keadaan liver saya yang sudah dikeluarkan itu. Digulang-gulingkannya. Lalu, menyayat-nyayatkan pisau di beberapa tempat untuk melihat dalamnya. “Masya Allah,” kata anak saya. “Seperti daging yang dipanggang kematangan,” ujarnya. Liver itu sudah begitu rusaknya.

Dokter lantas mengiris lagi bagian lain. Dibenggangkannya irisan itu dengan jarinya yang masih terbungkus sarung karet. “Itu lihat. Ada kanker di dalamnya,” kata dokter sambil jarinya menuding ke arah benda yang dimaksud. “Jepret,” anak saya memotret lagi bagian itu.

Liver lama tersebut memang tidak boleh dibawa. Hanya boleh difoto. Mengapa? Liver itu masih akan dimasukkan ke laboratorium untuk dianalisis lagi lebih teliti. Bukan hanya mengenai apa saja yang ada di dalamnya, melainkan juga untuk melihat sudah ada berapa kanker yang muncul. Dan, yang lebih penting, apakah kankernya telanjur menyebar atau tidak. Sebab, menurut hasil MRI sebelumnya, di dalam liver saya sudah ada tiga kanker yang besar (ukuran 6 cm, 4 cm, dan 2 cm). Lalu, masih ada dua lagi calon kanker baru. Dan, tentu mungkin masih akan terlihat anak-anak dan cucu-cucunya.

Tapi, bagaimana persisnya keadaan liver lama saya itu, masih harus menunggu hasil penelitian. Kami baru akan diberi tahu sekitar seminggu kemudian. “Liver ini kami bawa kembali,” ujar dokter sambil kembali membungkusnya.

Pintu ditutup lagi, para dokter meneruskan lagi pekerjaannya, menyelesaikan operasi terhadap saya.

Pukul 24.00, berita berikutnya disampaikan. Operasi sudah selesai. “Pak Yu Shi Gan (baca: i-se-kan) akan segera dibawa ke ICU untuk menunggu siuman di sana,” jelas seorang dokter kepada Robert.

“Pukul berapa akan siuman?” kata Robert. “Kira-kira 6 jam lagi,” ujar dokter. Itu berarti saya baru akan siuman sekitar pukul 07.00 keesokan harinya.

Keluaga saya sudah lebih tenang. Demikian pula dengan seluruh rekan yang memonitor perkembangan operasi dari Aceh sampai Papua. Dari foto mereka ketika mendengarkan penjelasan itu, terlihat jelas bahwa wajah-wajah mereka sudah tidak tegang. Bahkan sudah tersenyum-senyum.

Semua disampaikan anak saya kepada teman-teman yang menanyakan perkembangan operasi saya. Suatu berita yang menggembirakan. “Suasananya lantas seperti mendengar siaran radio pertandingan sepak bola, di mana lawan sudah tidak memborbardir gawang kita lagi. Bahkan, sepertinya pemain kita anti menyerang terus. Kita lantas seperti sedang menantikan terjadinya gol-gol ke gawang lawan,” tulis Yoto di SMS-nya dari Papua.

Keluarga di Samarinda, Madiun, dan Surabaya diberi tahu perkembangan itu. Kabar selesainya operasi juga dikirim ke umat Buddha yang terus bersemedi di Kenjeran, Surabaya. Diteruskan juga ke warga Sapto Dharmo di Pujon. Mereka sudah bisa menghentikan peribadatannya.

Malam itu, istri dan anak saya langsung bisa tidur. Robert kembali ke apartemen. Saudara ketiga Guo pulang ke rumahnya. Saya tergolek menunggu siuman di ruang ICU di lantai 12. Di situlah berbagai jenis kabel dan selang menempel dan menancap di tubuh saya, seperti untuk sementara menggantikan nyawa saya.


Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 5. Tunggu Operasi, Suasana seperti Siaran Langsung Sepak Bola7. Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos →
6. Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”, tapi Tak Terucap
Posted on November 13, 2011 by gantihati
August 31, 2007

Suasana orang yang lagi mau siuman selalu saja begini: Mula-mula terdengar dulu pembicaraan orang-orang yang berada di sekitar kita. Tapi, mata tidak mau membuka. Seperti orang yang ngantuknya luar biasa. Apalagi seperti saya, yang baru saja dibius selama 18 jam. Suara-suara itu tambah lama tambah jelas. Ingin sekali mata melihat siapa saja yang bersuara itu, tapi tetap saja tidak punya kemampuan membuka kelopak mata sendiri.


Sesaat kemudian, napas terasa sesak. Seperti orang yang lagi kekurangan oksigen. Perasaan lantas seperti setengah berharap, setengah putus asa. Berharap karena ternyata masih bisa bernapas, putus asa karena jumlah oksigen kok seperti tidak segera cukup dan seperti mengancam kehidupan. Rasanya kok seperti mau mati karena kekurangan udara.

Saya yang sudah pengalaman beberapa kali dibius (meski dulu tidak sampai 18 jam seperti saat penggantian liver kali ini), sadar bahwa saya ini sedang dalam proses dari tidak sadar ke sadar. Saya yakin bahwa saya segera mengatasi persoalan sesak napas itu. Tapi, kok sulit sekali ya? Maka, saya tetap berusaha sekuat tenaga. Saya lantas memberikan isyarat kepada perawat dengan tangan saya. Antara sadar dan tidak, saya coba menggerakkan jari-jari tangan saya seperti sedang memutar keran. Maksud saya, ini permintaan agar keran oksigen diperbesar.

Tapi, mungkin perawat tidak melihat isyarat di tangan saya. Saya gerak-gerakkan terus jari-jari saya dengan gerakan seperti memutar keran. Mungkin juga yang terjadi sebenarnya tidak seperti itu. Perasaan saya saja bahwa saya sedang menggerak-gerakkan jari, tapi sebenarnya tidak ada jari yang bergerak sama sekali. Bahkan, sebenarnya, barangkali juga tidak ada oksigen yang dialirkan ke hidung saya. Begitulah kalau sadar dan tidak sadar bercampur jadi satu.

Lama-lama, rasa sesak itu berkurang. Lalu, menjadi lega. Napas bisa ditarik dengan normal seperti biasa. Mata pun lama-lama bisa membuka. Agak berat memang, tapi ingin sekali membuka mata sebentar agar bisa melihat sekeliling. Kelihatanlah samar-samar bahwa saya sedang di ICU. Di ruang perawatan khusus setelah menjalani penggantian liver. Kesadaran ini datang tujuh jam setelah operasi.

“Saya hidup,” komentar spontan yang muncul, tapi tak terucapkan. Saya hidup. Operasi tidak gagal. Saya hidup.

Tentu saya amat bersyukur. Tapi, syukur saya tidak sampai mengabaikan rasa hormat saya kepada mereka yang telah belajar keras di universitas dan menggunakan akalnya secara sungguh-sungguh hingga melahirkan ilmu pengetahuan yang sangat maju. Saya bersyukur kepada Tuhan sekaligus hormat kepada ilmuwan.

Setelah senang karena masih hidup, barulah saya sadar bahwa begitu banyak instrumen yang ada di sekitar tempat saya berbaring. Kabel-kabel, selang-selang, dan saluran infus seperti bertaut-tautan. Suara tat-tit-tat-tit dari mesin-mesin elektronik di sekitar saya mendominasi pendengaran saya.

Rasa-rasa tidak enak mulai muncul satu per satu. Mula-mula rasa dada penuh dengan cairan lendir. Cairan itu harus segera bisa keluar sebagai dahak. Kalau tidak, akan membahayakan paru-paru. Begitulah bunyi petunjuk yang saya baca sebelum operasi. Untuk mengeluarkan lendir itu, saya harus berbuat seperti membatukkan diri keras-keras. Cara demikian juga saya ketahui dari buku petunjuk. Bahkan, sejak beberapa hari sebelum operasi, perawat sudah melatih cara berbatuk yang bisa mengeluarkan dahak. Waktu latihan, saya meraskan tidak ada kesulitan. “Apa sih sulitnya batuk?” kata saya dalam hati. “Uhuk! Uhuk!” Selesai. Perawat menyatakan saya berhasil menjalani latihan dengan tingkat kelulusan summa cum laude.

Tapi, latihan dan kenyataan ternyata sangat berbeda. Dalam praktik, ternyata saya sulit sekali lulus. Sudah saya usahakan batuk semirip-miripnya batuk waktu summa cum laude, tapi tidak juga berhasil. Sebagian mungkin karena saat itu saya sudah tidak lagi punya tenaga sebaik saat latihan. Setelah hampir dua hari tidak ada makanan apa pun yang masuk ke perut, tenaga pun rupanya ikut hilang. Namun, saya juga takut akan bahaya dahak itu terhadap paru-paru. Saya berusaha terus membatukkan diri. Sebatuk-batuknya.

Akhirnya broll! Dahak yang amat banyak bisa keluar. Napas terasa amat lega. Ketika saya tanya mengapa begitu sulit saya mengeluarkan dahak itu, perawat mengatakan bahwa itu normal saja. “Apakah saya terlalu meremehkan saat latihan?” tanya saya. “Tidak,” kata perawat. Saya tahu, itu hanya untuk menyenangkan hati saya. “Bagi perokok lebih sulit lagi mengeluarkan dahak itu,” ujar perawat lebih lanjut.

Meski sudah berhasil mendapatkan dua jenis kelegaan (bisa bernapas normal dan bisa mengeluarkan dahak dalam jumlah besar), tapi masih banyak yang membuat badan saya sangat tidak nyaman. Karena di lubang hidung masih ada dua selang yang dimasukkan sampai ke perut saya. Dalam dunia kedokteran, kedua selang itu dikenal dengan sebutan sonde.

Dua selang kecil itu punya tugas sendiri-sendiri. Yang satu untuk membuang sisa makanan dari lambung saya. Yang lain untuk mengirimkan makanan langsung ke usus saya. Mengapa langsung ke usus? Sebab, pertama, saya belum bisa makan sendiri. Kedua, karena pembuluh darah di esofagus (jalan makan yang menghubungkan mulut dengan lambung), peritonium (selaput dinding perut), dan usus saya masih rawan pecah sehingga perlu dilindungi. Ketiga, karena liver baru saya belum bisa “cari makan” sendiri. Sehingga perlu ada yang “mencarikan.”

Selain itu, masih ada empat selang lain yang menancap di leher saya. Satu selang masuk lewat lubang yang sengaja dibuat di bagian depan leher. Tiga lainnya masuk lewat pembuluh darah besar di leher kanan.

Satu selang yang dimasukkan lewat leher depan -di antara tulang belikat- gunanya untuk mengalirkan napas bantuan dan membersihkan kelebihan lendir di paru-paru (broncho toilet).

Saya diberi napas bantuan karena sampai beberapa jam pascaoperasi, saya kan belum bisa bernapas sendiri. Sehingga perlu dibantu. Agar “bantuan” itu bisa cepat sampai ke paru-paru, maka diambillah jalan pintas, yakni lewat tenggorokan.

Dan karena belum bisa bernapas sendiri, maka sisa lendir di paru-paru pun tidak bisa saya keluarkan sendiri dengan cara batuk atau berdahak, seperti yang sudah diajarkan perawat.

Sedangkan tiga selang lainnya masuk lewat pembuluh darah besar, yang dalam istilah kedokteran disebut dengan tri lumen atau central IV (baca : ai vi) line. Gunanya untuk mengalirkan semacam infus yang mengandung protein dan kalori tinggi. Infus jenis ini memang harus lewat pembuluh darah besar, tidak boleh lewat pembuluh darah di tangan seperti biasanya orang diinfus. Sebab, konsentrasinya sangat tinggi sehingga bisa merusak dinding pembuluh yang dilewati. Dinding pembuluh darah utama yang leher lebih kuat sehingga cukup kuat untuk dilewati infus jenis ini meski sampai tiga bulan secara terus-menerus.

Fungsi lain tri lumen adalah untuk memasukkan obat-obat injeksi yang harus lewat pembuluh darah dan mengambil sampel darah. Dengan begitu, bila perawat ingin mengambil sampel darah atau menyuntikkan obat, tak perlu lagi dengan menusuk-nusuk tangan saya.

Yang lebih istimewa dari tri lumen adalah bisa untuk memonitor kadar air dalam tubuh (central venus pressure=CVP). Sebab, salah satu ujung tri lumen bisa dihubungkan dengan alat monitor yang bisa menunjukkan perubahan kadar air di tubuh saya setiap menit, secara otomatis.

Bahwa di tangan saya masih ada semacam pentil yang biasa dihubungkan dengan selang infus, itu bukan disiapkan untuk cairan infus atau injeksi. Melainkan untuk transfusi (tambah darah) bila diperlukan.

Ketidaknyamanan lain yang saya rasakan saat itu adalah adanya alat pengukur tekanan darah yang dipasang di lengan kiri. Alat itu secara otomatis akan mencengkeram lengan saya sangat kuat setiap setengah jam sekali. Angka-angka tekanan darah otomatis keluar di layar monitor.

Itu belum semuanya. Karena masih ada sejumlah alat dan kabel yang ditempelkan di dada kiri dan kanan untuk mengecek denyut jantung. Kabel itu juga terhubung dengan layar monitor. Ujung jari tangan dan kaki juga dijepit dengan alat yang dihubungkan dengan kabel ke layar yang lain lagi.

Lengan kanan saya juga sedang dipasang jarum untuk mengalirkan berbagai jenis infus. Ujung selang infus itu bercabang-cabang karena lima macam cairan dari botol yang berbeda harus mengalir ke tubuh saya lewat satu jarum tersebut.

Melihat keruwetan di sekitar tubuh saya, saya mencoba untuk tidak merasa terganggu. Saya berusaha tidak memikirkan itu. Saya justru teringat humornya rekan Zainal Muttaqien, Dirut anak perusahan di Grup Kalimantan yang kini jadi direktur Jawa Pos. Yakni mengenai susah payahnya seseorang untuk menyelamatkan hidup (mungkin seperti saya ini), tapi meninggal oleh penyebab yang amat sepele.

“Jangan sampai nanti meninggalnya justru hanya gara-gara kejatuhan singkong di jalan raya.”

Apa kejatuhan singkong di jalan raya bisa membuat orang sampai meninggal?

“Lha singkongnya satu truk. Lalu, truknya nabrak kita!”

Humor khas orang Surabaya. Humor ludrukan. Tapi, itu bisa mengalihkan perhatian saya dari rasa ruwet dibeliti selang dan kabel. Setidaknya untuk sementara.

***

Pagi tanggal 7 Agustus 2007 itu, sebenarnya, saya ingin menghitung berapa banyak selang, botol, dan kabel yang saling berhubungan di tubuh saya. Ini agar saya bisa menggambarkannya dengan baik kalau kelak harus menuliskannya untuk pembaca. Namun, kesadaran saya dan tenaga saya tidak terlalu komplet pagi itu. Orang yang baru siuman setelah dibius selama 18 jam tidak memiliki tingkat konsentrasi yang sempurna.

Bahkan, saya tidak sepenuhnya mengerti apakah ketika saya mulai sadar itu, waktunya sudah siang atau masih malam. Lama sekali saya menebak-nebak: siangkah ini? Malamkah ini? Memang suasana ruang ICU sangat terang. Tapi, saya ragu apakah itu terangnya matahari atau terangnya lampu? Saya berusaha melihat jauh ke dinding, ke arah jam besar dipasang. Tapi, pandangan saya lamur. Pertama, sedang tidak menggunakan kacamata. Kedua, ya memang saya belum sepenuhnya punya kemampuan normal.

Ingin sekali saya berusaha mengalihkan pandangan ke kiri atau ke kanan, namun tidak bisa. Saya tidak mungkin bisa menoleh karena begitu banyak selang di leher. Apalagi kalau harus mendongakkan kepala untuk melihat sumber terang di belakang kepala saya. Tidak mungkin. Maka, saya tidak tahu apakah terang di balik kepala itu karena dinding kaca atau karena ada lampu yang dipasang di situ.

Satu-satunya cara untuk bisa mengetahui situasi waktu, ya hanya dengan melihat jam di dinding sana itu. Tapi, sulit sekali untuk bisa melihat dengan jelas. Kelopak mata berat sekali. Hanya secara timbul tenggelam saya melihat secara kabur bahwa itu seperti jam 11.00-an. Tapi 11 malam atau 11 siang, saya sungguh ragu dengan kemampuan saya memperkirakan.

Ketika saya lihat ada perawat mendekat, saya bertanya, “Ji dian?” Jawabnya, “Jam sembilan”. Lalu, saya tanya lagi, “Wan shang, hai shi shang wu?” Dia jawab, jam sembilan siang! Tahulah saya bahwa saat itu sudah pagi hari. Berarti sudah satu malam saya tidak sadar sama sekali. Dan tahulah saya bahwa pandangan saya benar-benar gak sempurna. Jarum yang menunjuk jam 9 saya kira menunjuk angka 11.


Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 6. Begitu Sadar, Teriak “Saya Hidup”, tapi Tak Terucap8. Sempat Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo →
7. Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos
Posted on November 14, 2011 by gantihati
September 1, 2007

SATU jam setelah sadar, saya melihat anak lelaki dan istri saya mendekat. Oh, ini jam besuk ke ICU. Memang hanya dua orang dari pihak keluarga yang boleh masuk ICU. Kecuali orang asing yang memerlukan penerjemah, maka ditambah satu penerjemah.


Saya segera melambaikan tangan ke arah istri dan anak saya. Saya berusaha untuk tersenyum sebagai ganti kata-kata bahwa saya baik-baik saja. Saya memang tidak bisa omong jelas karena banyaknya selang di tenggorokan. Kalau saya paksakan omong, bisa jadi tenggorokan saya akan terluka dan itu akan menyulitkan diri saya sendiri akhirnya.

Anak saya menceritakan apa yang sedang terjadi dan apa yang mereka lakukan malam sebelumnya. Juga menyampaikan daftar nama yang mengirim salam dan memberikan dukungan batin lewat SMS. Misalnya, informasi bahwa malam itu santri Pondok Langitan berdoa bersama dipimpin langsung oleh Gus Dulloh dan Gus Maksum, putra Kiai Faqih. Juga dari Panti Asuhan Yatim Piatu Zainudin, Baluran, Sepanjang.

Istri saya diam saja seperti tertegun melihat ruwetnya jaringan kabel dan selang di sekitar badan saya. Setelah memotret-motret secukupnya, mereka pamit. Tinggal saya sendiri lagi menghadapi ketidaknyamanan keadaan.

Tapi, saya sadar sepenuhnya memang begitulah pascaoperasi. Saya tidak mengeluh. Bagian ini juga harus saya jalani dan saya lewati sebagaimana saya harus menjalani dan melewati proses pembiusan, pembukaan rongga dada, pembuangan liver lama, dan pemasangan liver baru. Ini bukan operasi kecil. Ini operasi besaaar! Kalau setelah operasi ada rasa sakit, pastilah demikian. Maka, saya nikmati saja proses ini. Mengeluh hanya akan menambah penderitaan.

Yang berat adalah menahan diri untuk tidak menggerakkan badan sama sekali. Apalagi harus selama 24 jam. Ini agar luka-luka akibat operasi dan penyambungan pembuluh darah di liver tidak terganggu. Saya sudah bertekad bagian ini pun harus bisa saya lewati dengan baik. Bahwa akan amat penat, ya itu sudah risikonya. Saya anggap saja sebagai yoga yang panjang. Atau sebagai bagian dari zikir-pidak di tarekat Sathariyah. Kalau saya bergerak untuk tujuan mengenakkan badan sesaat, akibatnya bisa berupa penderitaan yang panjang.

Saya pernah menjalani dua operasi sebelumnya. Dua-duanya mengharuskan saya, kalau bisa, tidak bergerak selama delapan jam. Saya berhasil menjalani itu dulu. Maka, kalau kali ini saya harus tidak bergerak selama 24 jam pun, saya merasa akan mampu melakukannya. Dan, ternyata memang bisa. Penatnya bukan main, tapi itulah bagian yang harus dijalani untuk sukses. Saat mulai membangun Jawa Pos dulu, tiap malam saya harus berdiri di ruang layout lebih dari 12 jam. Tiap malam. Tujuh hari seminggu. 30 hari sebulan. 360 hari setahun. Kali ini saya juga harus mampu memenuhi persyaratan untuk tidak bergerak selama 24 jam!

Sejak kecil pun, saya sudah belajar tahan menderita. Bukan saja oleh kemiskinan, tapi juga oleh kerasnya sikap bapak saya. Misalnya, bapak melarang saya untuk belajar naik sepeda. Mengapa?

“Kalau sepeda itu rusak, bagaimana kita bisa menggantinya?” katanya.

Karena itu, sampai kelas tiga SMA (aliyah), saya belum bisa naik sepeda. Saya harus sekolah sejauh 6 km dengan jalan kaki. Satu jam berangkat dan satu jam pulang. Kadang, kalau lagi ada pelajaran bahasa Inggris hari itu, saya tetap berangkat dari rumah, namun belok ke sungai di tengah jalan. Saya cari ikan karena takut dengan guru bahasa Inggris. Lama-lama, tiap pelajaran bahasa Inggris, saya berada di sungai.

Akibatnya, saya tidak naik dari kelas 1 ke kelas 2. Rapor saya merah semua, kecuali ilmu bumi yang mendapat angka enam. Bapak marah besar. Saya juga merasa bersalah kepada kakak saya yang telah meninggalkan gajinya untuk saya dan adik saya. Sejak itu, saya kelihatan agak pinter di kelas. Bahkan, kemudian sering jadi ketua berbagai kegiatan. Juga sering ditunjuk sebagai inspektur upacara pada tiap Senin.

Tapi, cita-cita saya bukan itu. Cita-cita saya adalah “bagaimana agar punya sepatu”. Sampai kelas 2 SMA, saya belum punya sepatu. Tiap hari ke sekolah dengan telanjang kaki. Maka, ketika kelas 3 SMA, saya bisa beli sepatu (sepatu kets bekas yang ujung jempolnya sudah bolong dan bagian tumitnya sudah berserabut), saya hemat benar pemakaiannya. Hanya tiap Senin sepatu itu saya pakai. Maka, jadilah saya inspektur upacara dengan sepatu di kaki. Banggakah saya? Ternyata tidak. Karena dalam hati saya tersiksa. Sepatu itu menimbulkan rasa tidak nyaman yang hebat, bahkan menimbulkan luka.

Karena itu, saya hanya tersenyum ketika melihat anak saya mempunyai sepatu sampai lebih dari 300 dan semuanya branded alias bermerek. Dia memang hobi mengoleksi sepatu. Kalau beli sepatu, dia tidak ingin kotak dan labelnya dibuang. Dia juga tidak pakai sepatu itu. Hanya dia jejer di lantai rumah, untuk dipandang setiap hari. Begitu penuhnya sehingga istrinya suatu saat bilang kepada saya, “Sampai jalan masuk ke kamar tinggal satu galengan (pematang).”

Saya juga pernah dipukuli bapak dengan sapu. Mula-mula, saya menangis. Tapi, saya pikir tidak ada gunanya. Saya diam dan menikmati pukulan itu. Sambil merasa memang saya bersalah. Ternyata, bapak malah menghentikan pukulannya. Ini gara-gara saya sering menggunakan alat-alat pertukangannya untuk ndalang. Bapak sangat sayang pada alat pertukangannya. Kalau tidak lagi ada orang yang minta memperbaiki rumahnya, ayah menggosok-gosok alat-alat itu sampai tajam.

Namun, suatu hari, anak-anak pasah itu (alat untuk menghaluskan kayu) saya gandeng-gandeng, dalam posisi menumpuk. Kalau disentuh, akan timbul bunyi “crek-crek”. Satu bunyi yang penting dalam memainkan wayang. Kecrek itulah, yang saya pasang di kotak kayu. Saya duduk mendalang di sebelahnya. Kaki saya dalam posisi akan sering menyentuh kecrek tersebut sehingga bisa menimbulkan bunyi “crek-crek”. Begitulah, kelirnya terbuat dari sarung saya. Gamelannya adalah mulut beberapa teman sepermainan. Wayangnya terbuat dari rumput. Dan, kecreknya dari alat pertukangan ayah.

Ayah bukan hanya marah karena alat-alat cari uangnya dipakai secara salah, tapi juga karena di kotak itu ternyata ayah menyimpan uang. Dan, uang itu ikut saya ambil untuk saya belikan dawet. Padahal, meski hanya cukup untuk beli dawet (minuman khas di desa), tapi itulah satu-satunya tabungan ayah.

Puluhan tahun saya menderita, kata saya dalam hati, kalau hanya akan ditambah 24 jam di ICU ini, apalah beratnya.

Perawat ICU memuji ketahanan saya. Karena itu, tangan saya tidak perlu diikat. Banyak pasien yang tangan dan badannya harus diikat karena selalu berusaha untuk bergerak. Bahkan, ada yang mungkin tidak sadar, tangannya berusaha mencabut selang-selang yang memenuhi tenggorokannya. Saya pilih menjalani proses tidak bergerak dengan kesadaran sendiri daripada harus diikat seperti itu.

***

Sebenarnya, masih ada tiga selang lagi yang juga amat mengganggu. Selain karena ukurannya yang cukup besar, juga lantaran ujung dua dari tiga selang-selang itu dimasukkan ke dalam rongga perut saya melalui pinggang kanan dan kiri. Ujung selang yang satunya dimasukkan ke kandung kemih melalui lubang kemaluan. Ujung lain dari masing-masing selang itu masuk ke kantong plastik penampung cairan yang digantungkan di pinggir ranjang pasien.

Dengan adanya selang yang di lubang kemaluan itu, selama di ICU, saya tak perlu lagi merasa akan kencing. Sebab, begitu kandung kemih saya penuh, air kencing saya keluar dengan sendirinya melalui selang, masuk ke kantong penampungnya. Secara teratur, air kencing di kantong itu diukur dan dianalisis. Jumlah dan warnanya menunjukkan normal tidaknya ginjal dan berfungsi atau tidaknya organ penting itu.

Sama dengan yang di ujung kemaluan, selang yang di pinggang juga untuk mengeluarkan cairan-cairan yang tidak dibutuhkan tubuh saya. Semua cairan itu juga ditampung di kantong plastik, lalu secara teratur diukur dan dianalisis.

Bedanya, selang yang di pinggang kanan berfungsi untuk mengeluarkan sisa darah yang mungkin masih menetes dari luka bekas sayatan operasi di liver dan kantong empedu baru saya. Karena javascript:void(0);itu, posisi ujung selangnya ada di dekat kedua organ yang baru ditransplantasikan itu.

Selama saya di ICU, selang di pinggang kanan mengeluarkan cairan pekat berwarna merah. Makin hari, cairan itu makin sedikit keluarnya. Dan akhirnya berhenti karena luka-luka bekas sayatan operasi itu sudah “kering”. Tak lagi berdarah.

Bersamaan dengan keluarnya sisa darah dari pinggang kanan, selang di pinggang kiri juga mengeluarkan cairan kuning kemerahan. Cairan itu merupakan kelebihan cairan di rongga perut yang bercampur dengan sisa darah operasi yang tercecer dan berkeliaran.

Rongga perut memang harus bersih dari “barang asing”. Jika ada sesuatu yang tidak terdaftar sebagai “penghuni rongga perut”, seperti ceceran darah, sel tumor atau kanker, maka selaput dinding rongga perut -yang dalam istilah kedokteran disebut dengan peritonium- akan bereaksi, protes, dengan cara mengeluarkan lebih banyak cairan. Makin banyak cairan yang keluar, makin berbahaya karena peritonium bisa pecah dan orangnya meninggal.

Liver dan empedu baru saya tidak termasuk dalam kategori “barang asing” yang ditolak karena kedua organ itu kan sebenarnya penghuni rongga perut juga.

Sama dengan yang di pinggang kanan, cairan yang keluar dari pinggang kiri saya pun makin hari makin berkurang warna merahnya. Ini berarti semua ceceran darah sisa operasi sudah didorong keluar dari rongga perut.

Jumlahnya pun makin hari juga semakin sedikit. Ini pertanda tak ada lagi kelebihan cairan di rongga perut saya. Sehingga selangnya pun bisa dicabut.

Hari-hari pertama di ICU itu memang harus saya lalui dengan amat menderita, tapi saya berusaha tabah menjalaninya. Saya tidak mengeluh kepada siapa pun. Saat dokter bertanya apakah ada masalah, saya bilang tidak ada. Bahwa sebenarnya badan tidak enak, ya mesti saja. Tapi, bukankah memang harus demikian? Bukankah ini operasi yang sangat besar? Yang tidak mungkin tidak sakit?

Tapi, sepanjang sakitnya masih masuk akal, saya bertekad untuk tidak mengeluh. Kalau saya merasa kesakitan, saya tahu paling-paling hanya akan diberi obat penghilang rasa sakit, painkiller. Itu berarti satu racun lagi akan dimasukkan dalam tubuh saya. Saya gak mau itu. Apalagi seminggu sebelumnya saya baru saja baca bahwa Australia melarang penggunaan painkiller tertentu karena terbukti membuat pasien yang baru menjalani transplantasi liver meninggal dunia.

Sakit ini, meski sakit sekali, masih bisa saya rasakan. Yakni sakit akibat luka. Yakni luka yang sengaja dibuat dengan pisau bedah di sepanjang dada dan perut saya untuk mengeluarkan liver yang lama dan memasukkan liver yang baru. Tidak mungkin setelah perut ditutup tidak menimbulkan rasa sakit.

Tapi, sakitnya, sekali lagi, bisa dirasakan. Dan, ketika kecil, saya sudah sering mengalami rasa sakit seperti itu. Yakni ketika telapak kaki terkena cangkul. Waktu kecil saya memang sering ikut jadi buruh tani, mencangkul di sawah, yang disiapkan untuk menanam padi. Kadang, cangkul meleset dan mengenai telapak kaki. Lukanya lebar, memutih, dan berdarah-darah. Tentu tidak ada obat. Biasanya hanya kami siram dengan minyak tanah, lalu kami bebat dengan kain sobekan dari kaus atau sarung. Kain yang tidak pernah dipertimbangkan bersih atau tidak karena ya baru disobek saat itu juga. Kadang masih bercampur lumpur juga. Sakitnya saat habis operasi ya kurang lebih seperti itu.

Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 7. Tahan Tak Bergerak 24 Jam di ICU karena Terbiasa 12 Jam di Jawa Pos9. Kesadaran Pulih, tapi Saya Tak Mampu Sujud Syukur →
8. Sempat Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo
Posted on November 14, 2011 by gantihati
04 September 2007 08:43:10

KALAU saya sangat tahan menerima penderitaan selama di ICU, bukan saya jagoan dalam menerima rasa sakit. Bukan. Saya pernah mengalami rasa sakit sampai tidak tahan lagi menanggungkannya. Saya pernah mengalami rasa sakit yang ‘sampai nggak bisa dirasakan’. Yakni, ketika setahun lalu harus menjalani kemoterapi. Waktu itu diketahui (lewat scanner) bahwa di liver saya sudah ada kankernya. Lalu kanker itu dicoba dibunuh dengan cara di-TACE. Lalu dikemo. (Kelak akan saya jelaskan apa itu di-TACE).


Setelah dikemo itu, rasanya luar biasa tidak karuan. Yakni sakit, mual, mulas, kembung, melintir-lintir, dan entah berapa jenis rasa sakit menjadi satu. Sampai-sampai saya tak bisa memisah-misahkan bentuk sakitnya itu terdiri atas berapa macam rasa sakit.

Dalam hal ini saya merasa kalah dengan Sara, salah satu manajer keuangan saya. Dia muda, cantik, tinggi, dan diserang kanker. Dia harus menjalani kemo berpuluh kali hingga kepalanya gundul. Kini dia kembali cantik dan sudah melupakan penderitaan kemonya.

Sedang saya tidak tahan. Saya bilang kepada Robert Lai yang menunggui saya di Singapura, kalau dalam satu hari itu tidak juga reda, saya pilih mati. Tidak ada gunanya hidup dalam keadaan seperti itu. Saya minta mati saja, kata saya kepadanya. Lalu dia lapor ke dokter. Saya diberi obat tertentu. Pasti painkiller. Pelan-pelan rasa tidak karu-karuannya berkurang.

Tapi, saya kemudian memutuskan tidak mau lagi dikemo. Tidak tahan. Saya akan cari jalan lain saja. Atau lebih baik mati saja. Toh saya sudah berumur 55 tahun. Sudah berbuat sesuatu yang lumayan. Juga sudah melebihi umur ibu saya, atau umur kakak saya, atau umur paman-paman saya.

Ini bukan untuk menunjukkan bahwa saya pernah hampir putus asa, melainkan untuk menunjukkan kekaguman saya kepada orang-orang yang mampu menjalani kemo berkali-kali. Mereka jelas lebih hebat dari saya.

***

Hari pertama di ICU itu saya tidak merasa mengantuk. Hanya, mata terus terpejam. Rasanya saya tidak punya kekuatan untuk membuka kelopak mata saya sendiri. Sambil mata tetap terpejam pikiran saya jalan ke mana-mana. Ke Surabaya, ke Medan, Bengkulu, Batam sampai ke Palu. Saya juga suka memperhatikan kesibukan di ruang ICU itu. Memperhatikan dengan mata terpejam. Semua saya catat dalam ingatan saya. Dasar bekas wartawan! Kata hati saya.

Memperhatikan apa saja yang terjadi di ICU itu membuat perhatian saya terbagi. Ini baik. Karena tidak melulu tercurah ke rasa sakit. Perhatian saya menjadi tidak hanya kepada banyaknya selang yang menancap di sekujur tubuh. Saya juga bisa melupakan rasa penat akibat tekad saya sendiri untuk tidak akan menggerakkan tubuh sedikit pun selama 24 jam. Yakni, agar tidak berakibat buruk pada luka-luka operasi saya. Baik luka di kulit akibat sayatan pisau atau luka di dalam akibat terjadinya penyambungan-penyambungan pembuluh darah.

Tak terasa sore pun tiba. Sore itu, satu selang yang dimasukkan lewat leher kanan saya dicabut, dilepas. Agak lega sedikit. Tapi, masih ada dua selang yang menancap di leher yang dilubangi itu. Agak lebih sore lagi, selang yang dimasukkan ke rongga perut lewat lubang hidung juga dicabut. Lebih lega lagi. Saya terus berharap, selang-selang itu satu per satu akan dilepas. Saya tidak mau bertanya jadwal melepaskan selang-selang sisanya. Khawatir berharap terlalu banyak. Saya sudah biasa dengan sikap untuk tidak berharap banyak pada apa pun dan pada siapa pun. Ini, menurut pendapat saya, baik. Karena akan membuat saya merasa lebih bahagia. Setidaknya tidak akan membuat saya terlalu kecewa.

Bukankah bahagia dan kecewa sebenarnya bisa kita ciptakan sendiri? Orang akan merasa bahagia kalau keinginannya tercapai. Orang akan merasa kecewa kalau keinginannya tidak tercapai. Maka, ini saya, untuk mencapai kebahagiaan sangatlah mudah: Jangan pasang keinginan terlalu tinggi. Jangan menaruh harapan terlalu banyak.

Dulu pun saya hanya ingin Jawa Pos (Grup Cenderawasih Pos) menjadi koran yang oplahnya separonya dari Surabaya Post. Tidak perlu lebih besar dari itu. Waktu itu, rasanya tidak mungkin mengejar Surabaya Post yang sudah merajalela kehebatannya.

Baru setelah ternyata mudah sekali membuat koran yang bisa sebesar 50 persennya Surabaya Post, meningkatlah keinginan untuk bisa sebesar Surabaya Post. Keinginan itu meningkat terus secara bertahap, sehingga menjadi seperti Grup Jawa Pos sekarang.

Sebuah koran nasional dari daerah dengan oplah lebih dari 300 ribu eksemplar per hari. Ini belum termasuk koran-koran Grup Jawa Pos yang terbit di Jakarta dan di kota-kota lain di luar pulau. Bahkan, koran ini berkembang sedemikian rupa hingga menjadi sebuah grup media yang membawahkan lebih dari 100 koran harian dan mingguan, delapan televisi lokal, pabrik kertas, dan power plant.

Jadi, kalau ada yang menganalisis bahwa saya punya grand design untuk membuat Jawa Pos seperti sekarang, tidaknya begitu kenyataannya.

Hanya desain-desain kecil yang saya buat. Tapi, saya wujudkan dengan konstan. Dengan istikamah, dalam istilah Pesantren Miftahul Ulum Al Islami, Kedungdung, pimpinan KH Ilyas Khotib, di Bangkalan, Madura. Saya punya prinsip semuanya sebaiknya mengalir saja seperti air. Hanya, kalau bisa, alirannya yang deras. Batu pun kadang bisa menggelundung, kalah dengan air yang deras.

Itu menangnya orang yang tidak punya cita-cita tinggi sejak awal. Hidupnya lebih fleksibel. Karena tidak punya cita-cita, kalau dalam perjalanannya menghadapi batu besar, ia akan membelok. Tapi, kalau orang berpegang teguh pada cita-cita, bertemu batu pun akan ditabrak. Iya kalau batunya yang menggelundung, lha kalau kepalanya yang pecah gimana? Cita-cita saya semula hanya ingin punya sepatu, biar pun rombengan. Lalu ingin punya sepeda. Rasanya, waktu pertama punya sepeda (juga bekas) bahagianya melebihi saat punya Jaguar. Padahal, sepeda itu pernah putus as rodanya sehingga tidak bisa dinaiki. Bahkan, dituntun pun tidak bisa. Terpaksalah saya menggendongnya. Menggendong dengan bahagia.

Malamnya saya juga tidak mengantuk. Mungkin sudah kelamaan ditidurkan! Yakni, 18 jam dibius. Malam itu saya menyaksikan kerja perawat di ruang ICU yang luar biasa sibuknya. Perawat shift malam itu mulai bekerja pukul 19.00 dan baru akan pulang pukul 07.00 keesokan harinya. Sepanjang malam mereka bekerja tanpa istirahat sedikit pun. Ini karena tiap tiga perawat mengurus lima pasien ICU. Semuanya baru saja menjalani penggantian organ tubuh. Ada yang ganti liver seperti saya, ada yang ganti ginjal, ada yang ganti jantung. Tiap-tiap pasien memerlukan begitu banyak obat, begitu banyak macam cairan infus, begitu banyak alat deteksi yang terus-menerus harus dipantau, diganti, dan dicatat.

Dan, yang juga tak kalah penting adalah dibuatkan invoice-nya untuk menagihkan kepada pasien. Maka setiap habis menggunakan bahan, harus dicatat berapa harganya dan lalu di-invoice-kan. Ini penting sekali, bagi RS tentunya. Sebab, kalau salah dalam meng-invoice-kan, berarti rumah sakit akan menderita. Yakni, menderita kerugian.

Setiap ada kesempatan saya selalu memuji mereka. “Anda luar biasa sekali. Satu malam suntuk bekerja tanpa istirahat,” kata saya. “Untung Anda masih sangat muda. Kalau sudah tua, nggak mungkin bisa bekerja tanpa henti dengan konsentrasi tinggi sepanjang malam,” kata saya. “Terima kasih,” jawabnya.

Saya tahu dia akan libur besoknya. Jadi masih lumayan. Berbeda dengan muda saya dulu. Saya ingat waktu itu, waktu mulai membangun Jawa Pos dari sebuah koran yang hampir bangkrut, saya harus bekerja sepanjang malam. Besoknya tidak pakai libur. Bahkan, sudah harus bekerja sejak pagi lagi. Sampai malam lagi. Begitu seterusnya. Tidak libur. Besoknya sepanjang malam lagi, sepanjang siang lagi dan sepanjang malam lagi. Tujuh hari seminggu, 30 hari sebulan, 360 hari setahun. Selama kira-kira 15 tahun berturut-turut.

Inilah yang membuat organ di dalam tubuh saya menderita. Liver saya kalah. Dia sebenarnya sudah lama menangis-nangis minta diperhatikan. Sudah lama minta untuk tidak diperlakukan seperti itu. Sudah lama komplain ke sana kemari. Namun, karena tidak dipedulikan, lantas ngambek seperti ini. Lalu minta diistirahatkan seterusnya.


Ganti Hati Kisah Transplantasi Hati Dahlan Iskan
Skip to content
Home
About
← 8. Sempat Berpikir Lebih Baik Mati daripada Melanjutkan Kemo
9. Kesadaran Pulih, tapi Saya Tak Mampu Sujud Syukur
Posted on November 27, 2011 by gantihati
September 3, 2007

SAYA memperoleh kesadaran penuh pada malam kedua di ICU. Di tengah malam yang sepi itu, tiba-tiba pikiran saya jernih sekali. Suara tat-tit-tat-tit mesin yang memonitor organ-organ tubuh saya terdengar kian jelas. “Saya benar-benar masih hidup,” kata hati saya. “Alhamdulillah. Puji Tuhan,” batin saya lagi.


Tiba-tiba saya terlibat diskusi lagi dengan pikiran sendiri mengenai apa bentuk syukur yang harus saya lakukan. Sudah pasti saya belum punya kemampuan bersujud. Tapi, sujud kan tidak harus dengan kepala? Kan bisa juga yang sujud hati? Maka saya sujud dengan hati saya. Rasanya malah lebih ikhlas. Tidak ada yang lihat. Sepi sekali ing pamrih. Sebentar tapi menenangkan batin.

Saya memang bertekad untuk tidak akan mendemonstrasikan rasa syukur itu dalam bentuk yang ekstrem. Misalnya, dengan sepanjang-panjangnya mengucapkan kalimat-kalimat tertentu atau bahkan sampai menitikkan air mata. Atau memotong sapi untuk acara besar-besaran. Saya khawatir, semakin panjang kalimat yang saya ucapkan, semakin saya “sudah merasa bersyukur”. Semakin banyak orang yang saya undang untuk syukuran, semakin saya “sudah merasa bersyukur banyak”. Saya akhirnya berkesimpulan akan bersyukur dengan cara “memanfaatkan umur tambahan ini dengan seproduktif-produktifnya”.

Paginya, apa pun yang di ICU terlihat jelas dan terekam baik dalam ingatan. Hari kedua di ICU itu, pagi-pagi, pimpinan rumah sakit yang juga kepala tim dokter yang menangani penggantian liver saya datang menjenguk. Karena dia pimpinan, yang menyertainya banyak sekali. “Ze me yang?” tanyanya sambil memegangi tubuh saya menanyakan apa kabar dalam bahasa Mandarin. “Hen hao,” jawab saya. Saya bilang bahwa saya baik-baik saja dan tidak punya keluhan apa pun.

Tentu itu basa-basi. Sebenarnya banyak sekali yang ingin saya katakan. Bukan mengenai keluhan saya, melainkan soal-soal lain yang membuat saya penasaran. Yang membuat saya ingin segera tahu. Misalnya, apakah ada kesulitan yang berarti untuk melakukan operasi tadi malam? Apakah liver saya yang lama benar-benar telah rusak seperti yang diperkirakan? Atau sebenarnya masih baik, yang akan membuat saya menyesal melakukan operasi?

Soalnya, ada juga sedikit kekhawatiran bahwa jangan-jangan setelah perut dibuka, ternyata liver saya baik-baik saja. Jangan-jangan hasil scanner yang menyatakan liver saya sudah rusak dulu itu hanya karena alat scanner-nya “salah lihat”. Bukankah memang ada kasus-kasus “salah diagnosis” semacam itu?

Ada juga pertanyaan yang lebih penting yang ingin segera saya ketahui. Benarkah sudah ada kanker di liver lama saya? Benarkah tanpa operasi ini sebenarnya saya masih bisa hidup lima tahun lagi? Benarkah, seperti kata sebagian dokter, bahwa sebenarnya saya tinggal punya kesempatan hidup enam bulan lagi? Karena kanker sudah menjalar ke beberapa bagian di dalam liver saya?

Tapi, pertanyaan itu terlalu banyak untuk diajukan pagi itu. Juga terlalu dini. Rasanya kurang pas kalau saya sudah bertanya sejauh itu. Bukankah pagi itu dokter hanya mengunjungi saya untuk menunjukkan perhatian kepada saya? Untuk menunjukkan rasa persahabatan yang tulus? Sebab, tanpa mengunjungi saya pun dia sudah bisa baca dari laporan komputer mengenai perkembangan keadaan saya.

Maka, saya urung mengajukan pertanyaan-pertanyaan tadi. Masih ada waku di lain hari. Toh, saya masih akan berhari-hari di rumah sakit ini. Bahkan, mungkin masih berminggu atau (kalau operasi ini gagal) masih akan berbulan lagi.

Saya malah berubah pikiran dengan cepat. Saya justru bergegas menunjuk ke perawat yang berdiri di arah kaki saya. “Dokter, perawat-perawat rumah sakit ini luar biasa. Tadi malam mereka bekerja keras sepanjang malam, tanpa istirahat sedikit pun,” kata saya kepada pimpinan rumah sakit itu.

Sang pimpinan tersenyum senang. Lalu dia mendekat ke arah perawat dan memegang-megang pundaknya. Tidak ada kata-kata yang diucapkannya. Dan, saya kira memang tidak perlu ada kata-kata apa pun. Tepukan tangan ke pundak anak buah seperti itu sudah melebihi pujian yang diucapkan dengan ribuan kata.

“Terima kasih, Mr Yu memuji saya di depan pimpinan,” kata perawat itu kepada saya setelah rombongan pimpinan berlalu. Di Tiongkok nama saya memang Yu Shi Gan (baca: i-se-kan), sehingga cukup dipanggil nama depannya saja (Yu) yang dikira nama marga saya.

Saya tidak basa-basi memuji para perawat itu. Saya memang benar-benar ingin memujinya. Kerja yang luar biasa keras itu harus ada yang mencatatnya. Para perawat itu tidak hanya harus membuat laporan yang baik, tapi mereka sendiri juga harus dilaporkan. Terutama kebaikannya itu.

Para perawat itu bekerja dengan penuh tanggung jawab. Tanggung jawab kepada keselamatan pasien. Yakni, melakukan pekerjaan cepat, cermat dengan ketelitian yang tinggi di waktu malam yang sepi. Kalau saja tidak teliti pun siapa yang tahu?

Mereka juga bekerja dengan penuh tanggung jawab kepada rumah sakit. Yakni, dengan cara tidak ceroboh mencatat harga-harga barang yang saya gunakan malam itu: obat, infus, selang, jarum, tisu, sarung tangan, plester, dan seterusnya. Setiap ada pemakaian bahan harus dicatat harganya dan dibuatkan invoice penagihannya. Kalau tidak, rumah sakit akan rugi. Pemakaian barang seharga 1 yuan (sekitar Rp 1.100) pun harus dicatat rapi dan dibuatkan perhitungannya. Jarum pun ada harganya, kapas secuil ada harganya. Apalagi selang, cairan infus, dan obat-obatan.

Saya perlu memuji perawat tersebut sebagai bentuk ucapan terima kasih saya yang tulus kepada mereka. Saya tidak mungkin memberinya uang. Saya kan dalam keadaan telanjang! Mana bisa membawa dompet? Apalagi sudah menjadi kebiasaan saya, membawa dompet pun belum tentu ada duitnya.

Saya perlu memujinya karena setelah hari itu saya tidak mungkin lagi bisa bertemu mereka. Hari ini mereka dapat giliran libur. Besok sudah akan menjalani kehidupan baru dengan pasien berikutnya lagi. Saya mungkin juga tidak berada lagi di ICU karena pagi itu sudah bisa kembali ke kamar saya di lantai 11. “Terima kasih Bapak telah memuji saya di depan pimpinan saya,” kata perawat itu. Wajahnya kelihatan bersorak gembira. Seperti mendapatkan uang berjuta. Saya tidak akan lupa wajahnya. Tidak akan lupa ekspresi kegembiraannya. Tidak akan lupa keterampilannya. Dan kerja kerasnya.

***

Tiba-tiba anak saya laki-laki, Azrul Ananda, masuk ICU. Kali ini bersama adiknya, Isna Fitriana, yang baru malam harinya tiba dari Surabaya. Hari itu rupanya saya akan diserahterimakan.

“Bapak kan sudah aman. Dan Isna sudah di sini. Pagi ini saya kembali ke Surabaya,” ujar Azrul. “DBL harus segera dimulai,” tambahnya. DBL (DetEksi Basketball League) adalah liga basket SMP/SMA terbesar di Indonesia yang dia prakarsai. Saya mengangguk karena rasanya memang tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan. Perasaan saya baik-baik saja.

Rupanya, baru selama sakit ini saya punya komunikasi yang intensif dengan anak-anak saya. Sebelumnya, saya ternyata jarang sekali berbicara dengan mereka. Meski anak lelaki saya juga di Jawa Pos, saya membiarkan proses manajemen berjalan apa adanya. Saya hampir tidak pernah bicara soal perusahaan kepadanya. Keberadaan dia di Jawa Pos malah membuat hubungan saya sebagai bapak dan anak menjadi seperti hubungan atasan dan bawahan. Karena dia bukan bawahan langsung, berarti tidak perlu ada hubungan yang khusus.

Anak-anak saya memang sudah terpisah sejak mereka masih amat remaja. Begitu tamat SMP, keduanya langsung ke USA, masuk SMA di sana. Bahkan, Azrul sampai tujuh tahun di sana. Ikut orang tua angkatnya yang didapat melalui proses undian. Karena itu, kami tidak pernah tahu di rumah siapa dia akan tinggal di AS. Ternyata, Azrul dapat orang tua angkat yang sama sekali tidak diperkirakan. Yakni, seorang bapak yang ternyata juga pemilik surat kabar daerah di Kansas. Namanya John Mohn. Dia seorang master jurnalistik. Juga juragan koran.

John tidak punya anak laki-laki. Maka, Azrul dia anggap sebagai anak laki-lakinya. Tiap hari dia ajak anak saya ke kantor korannya. Dia ajari fotografi. Dia ajari jurnalistik. Bukan hanya penulisannya, tapi juga kemerdekaan dan filsafatnya. Jadilah Azrul anak yang mencintai koran. Bukan karena saya, tapi karena bapak angkatnya itu.

Saya sendiri sejak awal tidak ingin dia kerja di koran. Terlalu berat. Terlalu menyiksa. Juga belum tentu menghasilkan kekayaan. Maka sejak tamat SMP saya kirim dia ke AS agar bisa punya pilihan lebih baik. Setidaknya agar bisa berbahasa Inggris. Tidak seperti bapaknya yang hanya tamatan SMA (aliyah), yang nama-nama hari dalam bahasa Inggris pun tidak hafal.

Jadi, kalau ada yang menganggap saya sejak awal menyiapkan anak saya untuk di Jawa Pos, sungguh tidak demikian maunya. Saya justru mau anak saya bekerja di luar negeri dulu. Lalu jadi pengusaha yang mandiri. Ketika hal ini saya kemukakan kepada Azrul, dia balik bertanya: saya harus cari uang? Saya mau jurnalistik, katanya.

Apakah saya menyesal? Ya dan tidak. Tapi, ada juga yang menilai bahwa saya harus bersyukur karena ada anak yang masih punya idealisme di bidang jurnalistik. Menyikapi kedua penilaian itu saya pasrah saja. Yang terjadi, terjadilah.

Sepulang dari USA anak-anak saya praktis jadi dirinya sendiri-sendiri. Termasuk tidak mau lagi tinggal bersama kami di rumah. Mereka pilih tinggal di rumah sendiri. Mereka sudah terbiasa mandiri.

Baru ketika saya sakit ini, mereka sering menemani saya. Kami pun sering dalam keadaan lengkap berada dalam satu ruangan: saya, istri saya, dan anak-anak saya. Sekarang ditambah dengan menantu-menantu dan seorang cucu. Eh, seorang cucu dan calon seorang cucu lagi.

Justru ketika sakit ini saya seperti menemukan keluarga saya. “Ternyata saya punya anak,” gurau saya kepada keduanya. “Ternyata kita punya bapak, ya,” kata Isna kepada kakaknya. Sambil tertawa cekikikan. Suasana yang sangat mengurangi rasa sakit saya selama di ICU.

Lebih menggembirakan lagi, siang itu dua selang yang masuk ke rongga dada lewat leher kanan saya juga dicabut. Lubang bekas selang-selang itu lantas ditutup dengan plester. Dua hari kemudian lubang itu sudah menutup.

Kelak, ketika sudah berada di kamar biasa, saya masih sering meraba-raba bekas lubang di leher itu. Saya masih punya pikiran jangan-jangan lubangnya masih menganga.



1 komentar:

  1. Saya Fatimawati, saya menggunakan waktu ini untuk memperingatkan semua rekan saya INDONESIANS.Who yang telah terjadi di sekitar mencari pinjaman, Anda hanya harus berhati-hati. satu-satunya tempat dan perusahaan yang dapat menawarkan pinjaman Anda adalah QUALITYLOANFIRM. Saya mendapat pinjaman saya dari mereka. Mereka adalah satu-satunya pemberi pinjaman yang sah di internet. Lainnya semua pembohong, saya menghabiskan hampir 32 juta di tangan pemberi pinjaman palsu. Tapi qualityloan memberi saya mimpi saya kembali. Ini adalah alamat email yang sebenarnya mereka: qualityloanfirm@asia.com. Email pribadi saya sendiri: fatimatu.said99@gmail.com. Anda dapat berbicara dengan saya kapan saja Anda inginkan. Terima kasih semua untuk mendengarkan permintaan untuk saran saya. hati-hati

    BalasHapus