Selasa, 27 Desember 2011

SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGAN TUBUH

Fatwa-fatwa Kontemporer

SEPUTAR MASALAH PENCANGKOKAN ORGANT UBUH (3/3)
Dr. Yusuf Qardhawi

BOLEHKAH WALI DAN AHLI WARIS MENDONORKAN SEBAGIAN ORGAN
TUBUH MAYIT?

Apabila seseorang sebelum meninggal diperkenankan berwasiat
untuk mendonorkan sebagian organ tubuhnya, maka jika ia (si
mayit) tidak berwasiat sebelumnya bolehkah bagi ahli waris
dan walinya mendonorkan sebagian organ tubuhnya?

Ada yang mengatakan bahwa tubuh si mayit adalah milik si
mayit itu sendiri, sehingga wali atau ahli warisnya tidak
diperbolehkan mempergunakan atau mendonorkannya.

Namun begitu, sebenarnya seseorang apabila telah meninggal
dunia maka dia tidak dianggap layak memiliki sesuatu.
Sebagaimana kepemilikan hartanya yang juga berpindah kepada
ahli warisnya, maka mungkin dapat dikatakan bahwa tubuh si
mayit menjadi hak wali atau ahli warisnya. Dan boleh jadi
syara' melarang mematahkan tulang mayit atau merusak
tubuhnya itu karena hendak memelihara hak orang yang hidup
melebihi hak orang yang telah mati.

Disamping itu, Pembuat Syariat telah memberikan hak kepada
wali untuk menuntut hukum qishash atau memaafkan si pembunuh
ketika terjadi pembunuhan dengan sengaja, sebagaimana
difirmankan oleh Allah:

"... Dan barangsiapa dibunuh secara zhalim, maka
sesungguhnya Kami telah memberi kekuasaan kepada
ahli warisnya, tetapi janganlah ahli waris itu
melampaui batas dalam membunuh. Sesungguhnya ia
adalah orang yang mendapat pertolongan."
(al-Isra': 33)

Sebagaimana halnya ahli waris mempunyai hak melakukan hukum
qishash jika mereka menghendaki, atau melakukan perdamaian
dengan menuntut pembayaran diat, sedikit atau banyak. Atau
memaafkannya secara mutlak karena Allah, pemaafan yang
bersifat menyeluruh atau sebagian, seperti yang disinyalir
oleh Allah dalam firmanNya:

"... Maka barangsiapa yang mendapat suatu pemaafan
dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan)
mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah
(yang dlben maaf) membayar (diat) kepada yang
memben maaf dengan cara yang baik (pula) ..."
(al-Baqarah: 178)

Maka tidak menutup kemungkinan bahwa mereka mempunyai hak
mempergunakan sebagian organ tubuhnya, yang sekiranya dapat
memberi manfaat kepada orang lain dan tidak memberi mudarat
kepada si mayit. Bahkan mungkin dia mendapat pahala darinya,
sesuai kadar manfaat yang diperoleh orang sakit yang
membutuhkannya meskipun si mayit tidak berniat, sebagaimana
seseorang yang hidup itu mendapat pahala karena tanamannya
dimakan oleh orang lain, burung, atau binatang lain, atau
karena ditimpa musibah, kesedihan, atau terkena gangguan,
hingga terkena duri sekalipun ... Seperti juga halnya ia
memperoleh manfaat --setelah meninggal dunia-- dari doa
anaknya khususnya dan doa kaum muslim umumnya, serta dengan
sedekah mereka untuknya. Dan telah saya sebutkan bahwa
sedekah dengan sebagian anggota tubuh itu lebih besar
pahalanya daripada sedekah dengan harta.

Oleh karena itu, saya berpendapat tidak terlarang bagi ahli
waris mendonorkan sebagian organ tubuh mayit yang dibutuhkan
oleh orang-orang sakit untuk mengobati mereka, seperti
ginjal, jantung, dan sebagainya, dengan niat sebagai sedekah
dari si mayit, suatu sedekah yang berkesinambungan pahalanya
selama si sakit masih memanfaatkan organ yang didonorkan
itu.

Sebagian saudara di Qatar menanyakan kepada saya tentang
mendermakan sebagian organ tubuh anak-anak mereka yang
dilahirkan dengan menyandang suatu penyakit sehingga mereka
tidak dapat bertahan hidup. Proses itu terjadi pada waktu
mereka di rumah sakit, ketika anak-anak itu meninggal dunia.
Sedangkan beberapa anak lain membutuhkan sebagian organ
tubuh mereka yang sehat --misalnya ginjal-- untuk
melanjutkan kehidupan mereka.

Saya jawab bahwa yang demikian itu diperbolehkan, bahkan
mustahab, dan mereka akan mendapatkan pahala, insya Allah.
Karena yang demikian itu menjadi sebab terselamatkannya
kehidupan beberapa orang anak dalam beberapa hari disebabkan
kemauan para orang tua untuk melakukan kebaikan yang akan
mendapatkan pahala dari Allah. Mudah-mudahan Allah akan
mengganti untuk mereka -- karena musibah yang menimpa itu--
melalui anak-anak mereka.

Hanya saja, para ahli waris tidak boleh mendonorkan organ
tubuh si mayit jika si mayit sewaktu hidupnya berpesan agar
organ tubuhnya tidak didonorkan, karena yang demikian itu
merupakan haknya, dan wasiat atau pesannya itu wajib
dilaksanakan selama bukan berisi maksiat.

BATAS HAK NEGARA MENGENAI PENGAMBILAN ORGAN TUBUH

Apabila kita memperbolehkan ahli waris dan para wali untuk
mendonorkan sebagian organ tubuh si mayit untuk kepentingan
dan pengobatan orang yang masih hidup, maka bolehkah negara
membuat undang-undang yang memperbolehkan mengambil sebagian
organ tubuh orang mati yang tidak diketahui identitasnya,
dan tidak diketahui ahli waris dan walinya, untuk
dimanfaatkan guna menyelamatkan orang lain, yang sakit dan
yang terkena musibah?

Tidak jauh kemungkinannya, bahwa yang demikian itu
diperbolehkan dalam batas-batas darurat, atau karena suatu
kebutuhan yang tergolong dalam kategori darurat, berdasarkan
dugaan kuat bahwa si mayit tidak mempunyai wali. Apabila dia
mempunyai wali, maka wajib meminta izin kepadanya. Disamping
itu, juga tidak didapati indikasi bahwa sewaktu hidupnya
dulu si mayit berwasiat agar organ tubuhnya tidak
didonorkan.

MENCANGKOKKAN ORGAN TUBUH ORANG KAFIR KEPADA ORANG MUSLIM

Adapun mencangkokkan organ tubuh orang nonmuslim kepada
orang muslim tidak terlarang, karena organ tubuh manusia
tidak diidentifikasi sebagai Islam atau kafir, ia hanya
merupakan alat bagi manusia yang dipergunakannya sesuai
dengan akidah dan pandangan hidupnya. Apabila suatu organ
tubuh dipindahkan dari orang kafir kepada orang muslim, maka
ia menjadi bagian dari wujud si muslim itu dan menjadi alat
baginya untuk menjalankan misi hidupnya, sebagaimana yang
diperintahkan Allah Ta'ala. Hal ini sama dengan orang muslim
yang mengambil senjata orang kafir dan mempergunakannya
untuk berperang fi sabilillah.

Bahkan kami katakan bahwa organ-organ di dalam tubuh orang
kafir itu adalah muslim (tunduk dan menyerah kepada Allah),
selalu bertasbih dan bersujud kepada Allah SWT, sesuai
dengan pemahaman yang ditangkap dari Al-Qur'an bahwa segala
sesuatu yang ada di langit dan di bumi itu bersujud
menyucikan Allah Ta'ala, hanya saja kita tidak mengerti cara
mereka bertasbih.

Kalau begitu, maka yang benar adalah bahwa kekafiran atau
keislaman seseorang tidak berpengaruh terhadap organ
tubuhnya termasuk terhadap hatinya (organnya) sendiri, yang
oleh Al-Qur'an ada yang diklasifikasikan sehat dan sakit,
iman dan ragu, mati dan hidup. Padahal yang dimaksud disini
bukanlah organ yang dapat diraba (ditangkap dengan indra)
yang termasuk bidang garap dokter spesialis dan ahli
anatomi, sebab yang demikian itu tidak berbeda antara yang
beriman dan yang kafir, serta antara yang taat dan yang
bermaksiat. Tetapi yang dimaksud dengannya adalah makna
ruhiyahnya yang dengannyalah manusia merasa, berpikir, dan
memahami sesuatu, sebagaimana firman Allah:

"... lalu mereka mempunysi hati yang dengan itu
mereka dapat memahami ..." (al-Hajj: 46)

"... mereka mempunyai hati, tetapi tidak
dipergunakannya untuk memahami (ayat-ayat Allah)
..." (al-A'raf: 179)

Dan firman Allah:

"... sesungguhnya orang-orang musyrik itu najis
..." (at-Taubah: 28)

Kata najis dalam ayat tersebut bukanlah dimaksudkan untuk
najis indrawi yang berhubungan dengan badan, melainkan najis
maknawi yang berhubungan dengan hati dan akal (pikiran).

Karena itu tidak terdapat larangan syara' bagi orang muslim
untuk memanfaatkan organ tubuh orang nonmuslim.

PENCANGKOKAN ORGAN BINATANG YANG NAJIS KE TUBUH ORANG MUSLIM

Adapun pencangkokan organ binatang yang dihukumi najis
seperti babi misalnya, ke dalam tubuh orang muslim, maka
pada dasarnya hal itu tidak perlu dilakukan kecuali dalam
kondisi darurat. Sedangkan darurat itu bermacam-macam
kondisi dan hukumnya dengan harus mematuhi kaidah bahwa
"segala sesuatu yang diperbolehkan karena darurat itu harus
diukur menurut kadar kedaruratannya," dan pemanfaatannya
harus melalui ketetapan dokter-dokter muslim yang tepercaya.

Mungkin juga ada yang mengatakan disini bahwa yang
diharamkan dari babi hanyalah memakan dagingnya, sebagaimana
disebutkan Al-Qur'an dalam empat ayat, sedangkan
mencangkokkan sebagian organnya ke dalam tubuh manusia bukan
berarti memakannya, melainkan hanya memanfaatkannya. Selain
itu, Nabi saw. memperbolehkan memanfaatkan sebagian bangkai
--yaitu kulitnya-- padahal bangkai itu diharamkan
bersama-sama dengan pengharaman daging babi dalam Al-Qur'an.
Maka apabila syara' memperkenankan memanfaatkan bangkai asal
tidak dimakan, maka arah pembicaraan ini ialah
diperbolehkannya memanfaatkan babi asalkan tidak dimakan.

Diriwayatkan dalam kitab sahih bahwa Rasulullah saw. pernah
melewati bangkai seekor kambing, lalu para sahabat berkata,
"Sesungguhnya itu bangkai kambing milik bekas budak
Maimunah." Lalu beliau bersabda:

"Mengapa tidak kamu ambil kulitnya lalu kamu
samak, lantas kamu manfaatkan?" Mereka menjawab,
"Sesungguhnya itu adalah bangkai." Beliau
bersabda, "Sesungguhnya yang diharamkan itu
hanyalah memakannya."2

Permasalahannya sekarang, sesungguhnya babi itu najis, maka
bagaimana akan diperbolehkan memasukkan benda najis ke dalam
tubuh orang muslim?

Dalam hal ini saya akan menjawab: bahwa yang dilarang syara'
ialah mengenakan benda najis dari tubuh bagian luar, adapun
yang didalam tubuh maka tidak terdapat dalil yang
melarangnya. Sebab bagian dalam tubuh manusia itu justru
merupakan tempat benda-benda najis, seperti darah, kencing,
tinja, dan semua kotoran; dan manusia tetap melakukan
shalat, membaca Al-Qur'an, thawaf di Baitul Haram, meskipun
benda-benda najis itu ada di dalam perutnya dan tidak
membatalkannya sedikit pun, sebab tidak ada hubungan antara
hukum najis dengan apa yang ada didalam tubuh.

TIDAK BOLEH MENDONORKAN BUAH PELIR

Akhirnya pembahasan ini merembet kepada pembicaraan seputar
masalah pencangkokan buah pelir seseorang kepada orang lain.
Apakah hal itu diperbolehkan, dengan mengqiyaskannya kepada
organ tubuh yang lain? Ataukah khusus untuk buah pelir ini
tidak diperkenankan memindahkannya dari seseorang kepada
orang lain?

Menurut pendapat saya, memindahkan buah pelir tidak
diperbolehkan. Para ahli telah menetapkan bahwa buah pelir
merupakan perbendaharaan yang memindahkan karakter khusus
seseorang kepada keturunannya, dan pencangkokan pelir ke
dalam tubuh seseorang, yakni anak keturunan --lewat
reproduksi-- akan mewariskan sifat-sifat orang yang
mempunyai buah pelir itu, baik warna kulitnya, postur
tubuhnya, tingkat inteligensinya, atau sifat jasmaniah,
pemikiran, dan mental yang lain.

Hal ini dianggap semacam percampuran nasab yang dilarang
oleh syara' dengan jalan apa pun. Karena itu diharamkannya
perzinaan, adopsi dan pengakuan kepada orang lain sebagai
bapaknya, dan lainnya, yang menyebabkan terjadinya
percampuran keluarga atau kaum yang tidak termasuk bagian
dari mereka. Maka tidaklah dapat diterima pendapat yang
mengatakan bahwa buah pelir bila dipindahkan kepada orang
lain berarti telah menjadi bagian dari badan orang tersebut
dan mempunyai hukum seperti hukumnya dalam segala hal.

Demikian pula jika otak seseorang dapat dipindahkan kepada
orang lain, maka hal itu tidak diperbolehkan, karena akan
menimbulkan percampuran dan kerusakan yang besar.

Wa billahit taufiq.

Catatan kaki:
1 HR Ahmad, Abu Daud, dan Ibnu Majah dari Aisyah
sebagaimana disebutkan dalam al-Jami' ash-Shaghir.
Dan Ibnu Majah meriwayatkan dari Ummu Salamah
dengan lafal: "Seperti memecahkan tulang orang
yang hidup tentang dosanya."
2 Muttafaq 'alaih, sebagaimana disebutkan dalam
al-Lu'lu' wal-Marjan, nomor 205.


(Bagian 1/3, 2/3, 3/3)
-----------------------
Fatwa-fatwa Kontemporer
Dr. Yusuf Qardhawi
Gema Insani Press
Jln. Kalibata Utara II No. 84 Jakarta 12740
Telp. (021) 7984391-7984392-7988593
Fax. (021) 7984388
ISBN 979-561-276-X

------------------------------------------------------------------------------------------------------------

TRANSPLANTASI ORGAN DAN DONOR ORGAN DITINJAU DARI HUKUM ISLAM
Posted in transplantasi dengan kaitan (tags) menurut islam, transplantasi, transplantasi organ dan donor organ menurut hukum islam on 12 Desember 2010 by aditya



Transplantasi adalah pemindahan organ tubuh dari orang sehat atau mayat yang organ tubuhnya mempunyai daya hidup dan sehat kepada tubuh orang lain yang memiliki organ tubuh yang tidak berfungsi lagi sehingga resipien (penerima organ tubuh) dapat bertahan hidup secara sehat.

Dalam islam transplantasi bisa dikategorikan urusan duniawi. Karena jika kita amati, tidak ada dalil baik dari Al Qur’an ataupun hadits.

Lalu bagaimana hukum mendonorkan organ tubuh untuk di transplantasi?

Allah berfirman:

“Dan tolong menolonglah kamu dalam berbuat kebajikan dan taqwa, dan jangan tolong menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran.” (QS. Al-Maidah 5 :2)

Dari firman tersebut maka mendonorkan organ tubuh untuk ditransplantasi itu boleh. Namun perlu diperhatikan,dalam mendonorkan organ,organ tersebut bukanlah organ vital,yang jika organ tersebut di ambil maka akan menimbulkan kematian bagi pendonor.

Ada dua jenis donor organ:

A. Donor organ ketika pendonor masih hidup

Donor seperti ini dibolehkan dengan syarat. Yaitu, donor tersebut tidak mengakibatkan kematian si pendonor. Misalnya, dia mendonorkan jantung, limpha atau paru-parunya. Hal ini akan mengakibatkan kematian pada diri si pendonor. Padahal manusia tidak boleh membunuh dirinya, atau membiarkan orang lain membunuh dirinya; meski dengan kerelaannya.

Allah Swt berfirman:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu. (QS an-Nisa [4]: 29).

Selanjutnya Allah Swt berfirman:

Dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. (QS al-An’am [6]: 151)

Imam Bukhari dan Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah RA yang mengatakan bahwa Rasulullah SAW bersabda :
“Siapa saja yang menjatuhkan diri dari sebuah gunung dan membunuh dirinya sendiri, maka dia akan dimasukkan ke dalam neraka Jahannam.”

“…dan janganlah kamu menjerumuskan dirimu sendiri ke dalam kebinasaan.” (QS. Al-Baqarah 2: 195)

B. Donor organ ketika pendonor telah meninggal

Dalam hal ini terdapat perbedaan pendapat para ulama fiqh. Sebagian ulama madzhab Maliki dan Adz-Dzahiri yang berpendapat bahwa npemanfaatan organ tubuh mayat tidak boleh didilakukan dengan landasan sabda Rosulullah Rasulullah saw., “Memotong tulang mayat sama dengan memotong tulang manusia ketika masih hidup.” (HR. Abu Daud). Jadi, mayat harus dihormati sebagaimana ia dihormati semasa hidupnya.

Jumhur ulama fiqh yang terdiri dari sebagian ulama Madzhab Hanafi,Maliki,Syafli dan Hambali berpendapat bahwa memanfaatkan organ tubuh manusia sebagai pengobatan dibolehkan dalam keadaan darurat. Menurut mereka hadits riwayat Abu Dawud tersebut berlaku jika dolakukan semena-mena tapa manfaat. Apabila dilakukan untuk pengobatan itu tidak dilarang karena hadits yang memerintahkan seseorang untuk mengobati penyakitnya lebih banyak dan lebih meyakinkan daripada hadits Abu Daud tersebut.

Transplantasi ini dapat di lakukan dengan syarat si pendonor telah mewariskan sebelum ia meninggal atau dari ahli warisnya(jika sudah wafat).

Namun ada pula yang berpendapat bahwa hukum pemilikan terhadap tubuh manusia setelah dia mati. Merupakan suatu hal yang tidak diragukan lagi bahwa setelah kematiannya, manusia telah keluar dari kepemilikan serta kekuasaannya terhadap semua hal; baik harta, tubuh, maupun istrinya. Dengan demikian, dia tidak lagi memiliki hak terhadap tubuhnya.memang di bolehkan untuk harta namun itu di khususkan hanya untuk harta bukan untuk anggota badan.

Menurut saya, daam keadaan darurat diperbolehkan,dengan asar:
Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah. Tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang [2:173]

Hal ini di karenakan demi menyembuhkan penyakit,kerena Allah menurunkan suatu penyakit beserta obatnya. Dan dalam syariat islam menuntut umatnya agarseluruh penyakit harus di obati,angan membiarkan penyakit bersarang di tubuh kita yang dapat berakibat fatal,yaitu kematian. Sesuai dengan firman Allah SWT:

Dan janganlah kamu membunuh dirimu.sesungguhnya Allah sangat belas kasihan padamu. (QS an-Nisa [4]: 29).
www.myland59.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar